Tiga Amalan di Akhir Ramadhan
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
أَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْم
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Marilah kita senantiasa meningkatkan rasa syukur kita yang dibuktikan dengan ketakwaan pada Allah. Karena Allah telah memberikan kita berbagai nikmat. Terutama tiga nikmat yang besar yang disebutkan oleh Wahb bin Munabbih sebagai tiga nikmat utama yaitu Iman Islam, sehat dan kecukupan.
Shalawat dan salam atas junjungan kita, suri tauladan kita, Nabi akhir zaman, Nabi besar kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula kepada para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Kita sebentar lagi akan masuk sepuluh akhir Ramadhan.
Apa saja amalan yang mesti kita siapkan untuk di amalkan?
Ada tiga amalan yang bisa kita fokus untuk melakukannya di akhir-akhir Ramadhan nanti.
Pertama: Lebih serius lagi dalam ibadah di akhir Ramadhan
Lihatlah keseriusan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim, no. 1175)
Dikatakan oleh istri tercinta beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari, no. 2024; Muslim, no. 1174).
Kedua: Melakukan I’tikaf
I’tikaf maksudnya adalah berdiam di masjid beberapa waktu untuk lebih konsen melakukan ibadah.
Lihatlah contoh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari, no. 2026; Muslim, no. 1172).
Hikmah beliau seperti itu disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri berikut di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ
“Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (HR. Bukhari, no. 2018; Muslim, no. 1167).
Jadi, beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– melakukan i’tikaf supaya mudah mendapatkan malam lailatul qadar.
Lalu berapa lama waktu i’tikaf?
Al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al-Inshaf, 6: 17)
Karena Allah hanyalah menetapkan,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”(QS. Al Baqarah: 187).
Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” (Lihat Al-Muhalla, 5: 180).
Berarti beri’tikaf di siang atau malam hari dibolehkan walau hanya sesaat.
Ketiga: Raih Lailatul Qadar
Allah menyebut keutamaan lailatul qadar,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr: 3-5)
Menghidupkan malam lailatul qadar bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an. Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari, no. 1901)
Bisa juga kita mengamalkan do’a yang pernah diajarkan oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam jikalau kita bertemu dengan malam Lailatul Qadar yaitu do’a: “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni” (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan do’a ini pada ‘Aisyah, istri tercinta beliau.
Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan tidak mesti seluruh malam.
Sebagaimana dinukil oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm dari sekelompok ulama Madinah dan dinukil pula sampai pada Ibnu ‘Abbas disebutkan,
أَنَّ إِحْيَاءَهَا يَحْصُلُ بِأَنْ يُصَلِّيَ العِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ وَ يَعْزِمُ عَلَى أَنْ يُصَلِّيَ الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ
“Menghidupkan lailatul qadar bisa dengan melaksanakan shalat Isya’ berjamaah dan bertekad untuk melaksanakan shalat Shubuh secara berjama’ah.”
Dikatakan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatha’, Ibnul Musayyib menyatakan,
مَنْ شَهِدَ لَيْلَةَ القَدْرِ ـ يَعْنِي فِي جَمَاعَةٍ ـ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظِّهِ مِنْهَا
“Siapa yang menghadiri shalat berjama’ah pada malam Lailatul Qadar, maka ia telah mengambil bagian dari menghidupkan malam Lailatul Qadar tersebut.” (Latha’if Al-Ma’arif, hlm. 329).
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ