Ramadhan Madrasah Ikhlas

Ramadhan Madrasah Ikhlas

Salah satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari bulan Ramadhan, di dalamnya ditempa untuk senantiasa ikhlas dalam beramal.

Yang dimaksud ikhlas adalah memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata. Maka pantaslah Ramadhan disebut madrasah ikhlas.

Lihat saja dalam amalan puasa disebutkan,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760, dari Abu Hurairah).

Dalam amalan shalat malam atau shalat tarawih disebutkan,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759, dari Abu Hurairah). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 6: 36.

Juga ketika seseorang menghidupkan lailatul qadar dengan shalat malam disebutkan,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901, dari Abu Hurairah).

Yang dimaksud ihtisaban dalam hadits di atas berarti beramal karena mengharap pahala dari Allah. Itulah yang dimaksud ikhlas. Yang diharap bukanlah pujian manusia. Yang diharap bukanlah semata-mata harapan dunia.

Perhatikanlah bagaimana akibat dari amalan yang hanya ingin mengharap pujian manusia. Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata,

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ « أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِى مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ». قَالَ قُلْنَا بَلَى. فَقَالَ « الشِّرْكُ الْخَفِىُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّى فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami sedang mengingatkan akan (bahaya) Al Masih Ad Dajjal. Lantas beliau bersabda, “Maukah kukabarkan pada kalian apa yang lebih samar bagi kalian menurutku dibanding dari fitnah Al Masih Ad Dajjal?” “Iya”, para sahabat berujar demikian kata Abu Sa’id Al Khudri. Beliau pun bersabda, “Syirik khofi (syirik yang samar) di mana seseorang shalat lalu ia perbagus shalatnya agar dilihat orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 4204. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa haditsnya hasan).

Berbuat riya’ (pamer amalan) benar-benar tidak akan dipedulikan oleh Allah. Dalam hadits disebutkan,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya” (HR. Muslim no. 2985).

Imam Nawawi rahimahullah menuturkan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa” (Syarh Shahih Muslim, 18: 115).

Begitu pula orang yang beramal hanya mengharap dunia semata, ia benar-benar merugi. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)

Semestinya kita beribadah ikhlas karena Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5).

Marilah kita jadikan bulan Ramadhan sebagai madrasah untuk melatih keikhlasan. Hanya Allah yang memberi taufik.

Wallahu'alam (oh).

Pedoman I'tikaf Di Bulan Romadhon Sesuai Sunnah

Mimbar Dakwah
Pedoman I'tikaf Di Bulan Romadhon Sesuai Sunnah

I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. [8]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?

Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat: (1) Meminta izin suami dan (2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]

Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]

Yang Membatalkan I’tikaf
Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].

Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
Mandi dan berwudhu di masjid.
Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid
Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i’tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meminta izin untuk bisa beri’tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

Adab I’tikaf
Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan berkah.

Catatan
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.

[2] Al Mughni, 4/456.

[3] HR. Bukhari no. 2044.

[4] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.

[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338

[6] Fathul Bari, 4/271.

[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.

[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.

[9] Fathul Bari, 4/271.

[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.

[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.

[12] Lihat Al Mughni, 4/462.

[13] Al Mugni, 4/461.

[14] HR. Bukhari no. 2041.

[15] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.

[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.

[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.

[18] Idem.

[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.

[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.

[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.

[22] Al Inshof, 6/17.

[23] Fathul Bari, 4/272.

[24] HR. Bukhari no. 2041.

[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.

Cuplikan dari buku panduan romadhon

Waktu Pencatatan Takdir Tahunan

Kultum Untuk Hari Ke 19:
Waktu Pencatatan Takdir Tahunan

Di antara maksud lailatul qadar adalah waktu penetapan atau pencatatan takdir tahunan. Adapun keyakinan seorang muslim terhadap takdir, ia harus meyakini bahwa Allah mengetahui takdir hingga masa akan datang, Dia mencatat takdir tersebut, yang Dia tetapkan pasti terjadi, serta Dia pun menciptakan perbuatan hamba.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disebut lailatul qadar karena di malam tersebut dicatat untuk para malaikat catatan takdir, rezeki dan ajal yang terjadi pada tahun tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah (maksudnya: takdir dalam setahun, -pen).” (QS. Ad Dukhon: 4).

Begitu pula firman Allah Ta’ala,

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ

“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. ” (QS. Al Qadr: 4). Yang dimaksud ayat ini adalah diperlihatkan pada malaikat kejadian-kejadian dalam setahun, lalu mereka diperintahkan melakukan segala yang menjadi tugas mereka. Namun takdir ini sudah didahului dengan ilmu dan ketetapan Allah lebih dulu. Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 57.

Mengenai surat Ad Dukhon ayat 4 di atas, Qotadah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud adalah pada malam lailatul qadar ditetapkan takdir tahunan.”  (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an, 13: 132)

Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas bahwa dicatat dalam induk kitab pada malam lailatul qadar segala yang terjadi selama setahun berupa kebaikan, kejelekan, rezeki dan ajal, bahkan sampai kejadian ia berhaji. Disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir, 7: 338.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada malam lailatul qadar ditetapkan di Lauhul Mahfuzh mengenai takdir dalam setahun yaitu terdapat ketetapan ajal dan rezeki, begitu pula berbagai kejadian yang akan terjadi dalam setahun. Demikianlah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhohak, dan ulama salaf lainnya.” Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim dalam penjelasan ayat di atas.

Syaikh As Sa’di dalam Taisir Al Karimir Rahman berkata, “Ada salah satu pencatatan kitab yang terdapat pada malam lailatul qadar. Kitab tersebut dicatat namun masih bersesuaian dengan takdir yang dulu sudah ada, di mana Allah sudah menetapkan berbagai takdir makhluk, mulai dari ajal, rezeki, perbuatan serta keadaan mereka. Dalam penulisan tersebut, Allah menyerahkan kepada para malaikat. Takdir tersebut dicatat pada hamba ketika ia masih berada dalam perut ibunya. Kemudian setelah ia lahir ke dunia, Allah mewakilkan kepada malaikat pencatat untuk mencatat setiap amalan hamba. Di malam lailatul qadar tersebut, Allah menetapkan takdir dalam setahun. Semua takdir ini adalah tanda sempurnanya ilmu, hikmah dan ketelitian Allah terhadap makhluk-Nya.”

Semoga dengan semakin merenungkan tulisan di atas, kita pun semakin merenungkan malam kemuliaan lailatul qadar dan semakin beriman pula pada takdir ilahi.

Wallahu'alam (oh)

7 Amalan Yang Kerap Dilakukan Rosulullah Di 10 Akhir Bulan Ramadhan

7 Amalan Yang Kerap Dilakukan Rosulullah 
Di 10 Akhir Bulan Ramadhan                   

Ada beberapa amalan bulan Ramadhan yang kerap dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada 10 hari terakhir di bulan suci ini. Pada masa ini, Allah SWT akan membebaskan hamba-Nya yang berpuasa dari segala dosa dan terbebas dari siksa api neraka.

Pada 10 malam terakhir inilah waktu turunnya malam Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari 1.000 bulan. Banyak umat Islam di seluruh dunia yang saat ini sedang mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk mendapatkan malam istimewa ini. Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang terpilih, mempunyai kebiasaan-kebiasaan tertentu yang bisa menjadi tauladan bagi kita. Berikut 7 di antaranya.

1. Memperbanyak bersedekah

Harta kita yang sesungguhnya adalah harta yang kita keluarkan di jalan Allah. Nah, pada bulan Ramadhan yang penuh rahmat ini, yuk, kita perbanyak bersedekah. Dalam sebuah riwayat, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Abbas RA, “Baginda Rasulullah SAW adalah orang yang amat pemurah. Pada bulan Ramadhan beliau menjadi lebih pemurah lagi.” (Mutaffaq ‘alaih).

2. Memperbanyak membaca Al-Qur'an

Ada banyak keutamaan membaca Al Quran, terlebih pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Beberapa keutamaan itu di antaranya adalah selain semakin mendekatkan diri kepada Allah, membaca Al Quran juga memperoleh dua pahala, yakni pahala membaca dan pahala susah payahnya orang yang membaca. “Orang yang membaca Al-Qur’an dengan mahir adalah bersama para malaikat yang mulia lagi taat, sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan tergagap dan susah membacanya, baginya dua pahala.” (Hadits Muttafaq alaih).

3. Mengakhirkan waktu sahur

Sebenarnya waktu sahur yang terbaik itu adalah saat mendekati akhir imsak. Kebalikannya, ketika berbuka justru diutamakan untuk berbuka di waktu awal. Namun masih banyak orang-orang menyepelekan waktu sahur. Mereka merasa berat untuk bangun sahur. Padahal di balik santap sahur terdapat banyak berkah. Ammar Ibnu Maimun berkata, “Para sahabat Nabi Muhammad SAW adalah mereka yang paling lambat waktu makan sahurnya. ” (HR Baihaqi)

4. Memperbanyak shalat malam (menghidupkan malam Ramadhan)

“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. An Nasai). Bulan Ramadan, selain diwajibkan untuk berpuasa sehari penuh, malamnya disunahkan untuk melakukan shalat tarawih. Selain memperoleh pahala, shalat tarawih juga dapat menghapus dosa-dosa kita yang telah lalu. “Barang siapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).

5. I'tikaf

Sebenarnya I’tikaf bisa dilakukan di setiap waktu. Namun di bulan Ramadhan ini sebaiknya lebih ditekankan lagi, apalagi pada sepuluh hari bulan Ramadhan. I’tikaf artinya berdiam diri di masjid selama beberapa waktu dengan niat beribadah kepada Allah. Selama di masjid, perbanyaklah melakukan shalat sunnah, membaca AL Quran, atau mendengarkan kajian-kajian untuk menambah ilmu.

6. Menghidupkan sepuluh malam terakhir dan membangunkan keluarganya

Kamu bisa menghidupkan 10 malam terakhir dengan mengajak keluarga untuk meningkatkan lagi kualitas ibadah. Sampaikan kepada anggota keluarga bahwa 10 malam terakhir ini adalah malam-malam yang paling istimewa. Dalam beberapa hari ke depan Ramadhan akan berlalu dan bulan yang penuh berkah dan ampunan ini hanya akan kembali di tahun depan.

7. Mengajak para sahabat agar bersungguh-sungguh mencari Lailatul Qadar

Pahala juga bisa kita raih dengan saling mengingatkan dalam kebaikan. Mengingatkan sahabat ataupun keluarga untuk bersungguh-sungguh mempersiapkan diri di 10 malam terakhir juga bisa menjadi ladang pahala kita.

Ternyata banyak amalan bulan Ramadhan yang bisa kita tiru dari kebiasaan Nabi Muhammad SAW.

Semoga bermanfaat dan membawa berkah aamiiin.

Wallahu 'alam. (Oh)

Kultum untuk Hari Ke 21: Memperbanyak Istighfar

Kultum untuk Hari Ke 21:
Memperbanyak Istighfar

Istighfar adalah meminta ampunan pada Allah. Istighfar adalah penutup setiap amalan sholih. Shalat lima waktu, haji, shalat malam, dan pertemuan dalam majelis biasa ditutup dengan amalan dzikir istighfar ini. Jika istighfar berfungsi sebagai dzikir, maka itu jadi penambah pahala. Sedangkan jika ada sesuatu yang sia-sia dalam ibadah, maka fungsi istighfar sebagai kafaroh (penambal).

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah membuat tulisan yang ingin dikirimkan ke berbagai ke negeri. Isi surat tersebut adalah memerintahkan mereka untuk menutup bulan Ramadhan dengan istighfar dan shodaqoh yaitu zakat fithri. Karena zakat fithri menyucikan orang yang berpuasa dari hal-hal yang sia-sia dan dari kata-kata yang haram. Sedangkan bacaan istighfar adalah sebagai penambal atas kekurangan yang dilakukan saat puasa karena melakukan hal-hal yang sia-sia dan haram. Oleh karena itu, sebagian ulama mengibaratkan shodaqoh fithri (zakat fitrah) seperti sujud sahwi dalam shalat.

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menulis dalam kitabnya tersebut,”Ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh ayah kalian Adam ‘alaihis salam,

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al A’rof: 23).

Ucapkanlah seperti yang diucapkan Nuh ‘alaihis salam,

وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُن مِّنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Hud: 47)

Ucapkanlah seperti yang diucapkan Ibrahim ‘alaihis salam,

وَالَّذِي أَطْمَعُ أَن يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ

“dan Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat” (QS. Asy Syu’ara: 82)

Ucapkanlah seperti yang diucapkan Musa ‘alaihis salam,

رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku” (QS. Al Qashash: 16)

Begitu pula ucapkanlah seperti yang diucapkan Dzun Nun (Yunus) ‘alaihis salam,

لَّا إِلَٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim” (QS. Al Anbiya’: 87)

Puasa kita butuh pada istighfar, sedangkan amalan sholih sebagai penggenapnya. Bukanlah puasa kita penuh cacat dikarenakan pelanggaran yang kita lakukan saat puasa?

Sebagian salaf berkata setelah kita shalat, maka kita beristighfar untuk menambal cacat dalam shalat. Ini dilakukan sebagaimana orang yang berbuat dosa beristighfar. Inilah keadaan orang-orang yang bagus ibadahnya (muhsin). Sedangan para pelaku maksiat, bagaimana keadaan keseharian mereka? Sungguh merugi jika waktu untuk berbuat baik malah berbalik menjadi maksiat. Lalu waktu berbuat taat, malah jadi waktu sia-sia.

Al Hasan Al Bashri berkata, “Perbanyaklah istighfar karena kalian tidaklah tahu kapan waktu turunnya rahmat. Lukman pun pernah berkata pada anaknya, “Wahai anakkku, basahilah lisanmu dengan bacaan istighfar (permohonan ampun pada Allah) karena Allah telah memilih beberapa waktu yang do’a orang yang meminta tidak tertolak saat itu”.

Demikian ringkasan dari Kitab Lathoiful Ma’arif, karya Ibnu Rajab, hal. 376-378. Semoga di penghujung Ramadhan ini, kita mendapat banyak maghfiroh dari Allah.
(oh)

Tiga Amalan di Akhir Ramadhan

Tiga Amalan di Akhir Ramadhan

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

أَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْم

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Marilah kita senantiasa meningkatkan rasa syukur kita yang dibuktikan dengan ketakwaan pada Allah. Karena Allah telah memberikan kita berbagai nikmat. Terutama tiga nikmat yang besar yang disebutkan oleh Wahb bin Munabbih sebagai tiga nikmat utama yaitu Iman Islam, sehat dan kecukupan.

Shalawat dan salam atas junjungan kita, suri tauladan kita, Nabi akhir zaman, Nabi besar kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula kepada para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Kita sebentar lagi akan masuk sepuluh akhir Ramadhan.

Apa saja amalan yang mesti kita siapkan untuk di amalkan?

Ada tiga amalan yang bisa kita fokus untuk melakukannya di akhir-akhir Ramadhan nanti.

Pertama: Lebih serius lagi dalam ibadah di akhir Ramadhan

Lihatlah keseriusan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim, no. 1175)

Dikatakan oleh istri tercinta beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari, no. 2024; Muslim, no. 1174).

Kedua: Melakukan I’tikaf

I’tikaf maksudnya adalah berdiam di masjid beberapa waktu untuk lebih konsen melakukan ibadah.

Lihatlah contoh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ:- أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah. Lalu istri-istri beliau beri’tikaf setelah beliau wafat. (HR. Bukhari, no. 2026; Muslim, no. 1172).

Hikmah beliau seperti itu disebutkan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri berikut di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Aku pernah melakukan i’tikaf pada sepuluh hari Ramadhan yang pertama. Aku berkeinginan mencari malam lailatul qadar pada malam tersebut. Kemudian aku beri’tikaf di pertengahan bulan, aku datang dan ada yang mengatakan padaku bahwa lailatul qadar itu di sepuluh hari yang terakhir. Siapa saja yang ingin beri’tikaf di antara kalian, maka beri’tikaflah.” Lalu di antara para sahabat ada yang beri’tikaf bersama beliau. (HR. Bukhari, no. 2018; Muslim, no. 1167).

Jadi, beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– melakukan i’tikaf supaya mudah mendapatkan malam lailatul qadar.

Lalu berapa lama waktu i’tikaf?

Al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al-Inshaf, 6: 17)

Karena Allah hanyalah menetapkan,

وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.”(QS. Al Baqarah: 187).

Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” (Lihat Al-Muhalla, 5: 180).

Berarti beri’tikaf di siang atau malam hari dibolehkan walau hanya sesaat.

Ketiga: Raih Lailatul Qadar

Allah menyebut keutamaan lailatul qadar,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr: 3-5)

Menghidupkan malam lailatul qadar bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an. Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari, no. 1901)

Bisa juga kita mengamalkan do’a yang pernah diajarkan oleh Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam jikalau kita bertemu dengan malam Lailatul Qadar yaitu do’a: “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni” (Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan do’a ini pada ‘Aisyah, istri tercinta beliau.
Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan tidak mesti seluruh malam.

Sebagaimana dinukil oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm dari sekelompok ulama Madinah dan dinukil pula sampai pada Ibnu ‘Abbas disebutkan,

أَنَّ إِحْيَاءَهَا يَحْصُلُ بِأَنْ يُصَلِّيَ العِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ وَ يَعْزِمُ عَلَى أَنْ يُصَلِّيَ الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ

“Menghidupkan lailatul qadar bisa dengan melaksanakan shalat Isya’ berjamaah dan bertekad untuk melaksanakan shalat Shubuh secara berjama’ah.”

Dikatakan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatha’, Ibnul Musayyib menyatakan,

مَنْ شَهِدَ لَيْلَةَ القَدْرِ ـ يَعْنِي فِي جَمَاعَةٍ ـ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظِّهِ مِنْهَا

“Siapa yang menghadiri shalat berjama’ah pada malam Lailatul Qadar, maka ia telah mengambil bagian dari menghidupkan malam Lailatul Qadar tersebut.” (Latha’if Al-Ma’arif, hlm. 329).

أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

4 Golongan Orang Yang Api Neraka Haram Menyentuhnya

4 Golongan Orang Yang Api Neraka Haram Menyentuhnya

Didalam Sebuah Hadist Rosululloh SAW Bersabda:

ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮﺩٍ، ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ،ﻗَﺎﻝَ : ﺃَﻻَ ﺃُﺧْﺒِﺮُﻛُﻢْ ﺑِﻤَﻦْ ﺗُﺤَﺮَّﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭُ؟ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﺑَﻠَﻰ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻗَﺎﻝَ : ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻫَﻴِّﻦٍ، ﻟَﻴِّﻦٍ، ﻗَﺮِﻳﺐٍ، ﺳَﻬْﻞٍ.

Nabi Saw berkata, “Maukah kalian aku tunjukkan orang yang haram (tersentuh api) neraka..? Para sahabat berkata, “Iya, wahai Rasulallah..!!! Beliau menjawab, “(Haram tersentuh api neraka) orang yang Hayyin, Layyin, Qorib, Sahl.”

(HR. At Tirmidzi & Ibnu Hibban)

1.Hayyin
Orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan dzahir maupun batin Tidak labil gampang marah, grusah-grusuh dalam segala hal, penuh pertimbangan. Tidak gampangan memaki, melaknat dan ngamuk tersulut berita yang sampai padanya.

Teduh jiwanya…

2. Layin
Orang yang lembut dan kalem, baik dalam bertutur-kata atau berbuat. Tidak kasar, main cantik sesuai aturan, tidak semaunya sendiri, segalanya tertata rapi. Tidak galak yang suka memarahi orang yang berbeda berbeda pendapat denganya. Identik tidak suka melakukan pemaksaan pendapat. Lemah lembut dan selalu menginginkan kebaikan untuk saudaranya sesama muslim.

3.Qorib.
Bahasa jawanya “gati”, sunda “deudeuh” akrab, ramah diajak bicara, menyenangkan orang bagi yang mengajak bicara.

Tidak acuh tak acuh, cuek-bebek, gampang berpaling. Biasanya murah senyum jika bertemu dan wajahnya berseri-seri dan enak dipandang. Mudah untuk diajak berteman.

4. Sahl
Orang yang gampangan,  tidak mempersulit sesuatu.

Selalu ada solusi bagi setiap permasalahan. Tidak suka berbelit-belit, tidak menyusahkan dan membuat orang lain lari dan menghindar.

Keempat kata memiliki makna yang mirip, sama dan saling melengkapi dalam bingkai Akhlakul Karimah.

Semoga kita termasuk semua golongan tersebut diatas. Aamiin.

اللهم كما احسنت خلقي فأحسن خلقي…

Ya Allah sebagaimana Engkau telah menciptakanku dengan baik maka perbaikilah akhlakku.”

Aamiin. (~oh~)

Keadilan dan Pemimpin Yang Adil

IKHTISAR JUMAT, Keadilan dan Pemimpin Yang Adil Bandung, 1 November 2014 "Satu waktu nanti akan tiba atas umatku penguasa s...