Tampilkan postingan dengan label Ikhlas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ikhlas. Tampilkan semua postingan

Tiga Tingkatan Ikhlas

Tiga Tingkatan Ikhlas

Sudah menjadi maklum bahwa ikhlas merupakan satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang. Tanpa keikhlasan sebaik apapun amal yang dilakukan oleh seorang mukmin tak akan ada nilainya di sisi Allah subhânahû wa ta’âlâ.

Di dalam At-Ta’rîfât karya Ali Al-Jurjani disebutkan bahwa ikhlas adalah engkau tidak mencari orang yang menyaksikan amalmu selain Allah. Ikhlas juga diartikan membersihkan amal dari berbagai kotoran (Ali Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1983], hal. 14).

Prof. Dr. M. Qurais Shihab seringkali memberikan satu gambaran tentang ikhlas dengan sebuah gelas yang penuh air putih. Tak ada sedikit pun yang ada dalam gelas itu selain murni air putih belaka, tanpa tercampuri apa pun. Itulah yang disebut dengan ikhlas. 

Seseorang melakukan satu amalan hanya karna Allah semata, tak ada satu pun motivasi lain yang mencampurinya. Tak ada harapan surga, tak ada keinginan enaknya hidup di dunia, semua murni karena menghamba kepada Allah saja.

Meski demikian ada kriteria tertentu di mana seseorang melakukan suatu amalan dengan motivasi tertentu namun masih dikategorikan sebagai ikhlas. 

Syekh Muhammad Nawawi Banten di dalam  Nashâihul ‘Ibâd,  hal. 58  membagi keikhlasan ke dalam 3 (tiga) tingkatan.

Tingkatan pertama yang merupakan tingkat paling tinggi di dalam ikhlas sebagai berikut:

فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك

Artinya: “Tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.”

Pada tingkatan ini orang yang melakukan amalan atau ibadah tidak memiliki tujuan apapun selain hanya karena menuruti perintah Allah semata. 

Ia menyadari bahwa dirinya adalah hamba atau budaknya Allah sedangkan Allah adalah tuannya. Maka baginya sudah selayaknya seorang hamba taat dan patuh serta menuruti apapun yang diperintahkan oleh tuannya tanpa berharap mendapatkan imbalan apapun.

Orang yang beramal dengan keikhlasan tingkat ini sama sekali tak terpikir olehnya balasan atas amalnya itu. Pun ia tak peduli apakah kelak di akhirat Allah akan memasukkannya ke dalam surga atau neraka. Ia hanya berharap ridlo Tuhannya. 

Tngkatan ikhlas yang kedua :

والمرتبة الثانية أن يعمل لله ليعطيه الحظوظ الأخروية كالبعاد عن النار وادخاله الجنة وتنعيمه بأنواع ملاذها

Artinya: “Tingkat keikhlasan yang kedua adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian-bagian akhirat seperti dijauhkan dari siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam surga dan menikmati berbagai macam kelezatannya.”

Pada tingkatan kedua ini orang yang beramal melakukan amalannya karena Allah namun di balik itu ia memiliki keinginan agar dengan ibadahnya kelak di akherat ia akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah. 

Ia beribadah dengan harapan kelak di hari kiamat terselamatkan dari berbagai keadaannya yang mengerikan, terlindungi dari panas yang menyengat, dimudahkan hisabnya, hingga pada akhirnya ia tidak dimasukkan ke dalam api neraka tapi sebaliknya Allah berkenan memasukkannya ke dalam surga sehingga ia dapat menikmati berbagai fasilitas yang tiada duanya.

Beribadah dengan niat dan motivasi seperti ini masih dikategorikan sebagai ikhlas, hanya saja bukan ikhlas yang sesungguh-sungguhnya ikhlas. 

Keikhlasan seperti ini ada pada tingkatan kedua di bawah tingkat keikhlasan pertama. Ini diperbolehkan mengingat Allah dan Rasulullah sangat sering memotivasi para hamba dan umatnya untuk melakukan amalan tertentu dengan iming-iming pahala yang besar dan kenikmatan yang luar biasa di akhirat kelak.

Tingkatan ikhlas yang ketiga adalah

والمرتبة الثالثة أن يعمل لله ليعطيه حظا دنيويا كتوسعة الرزق ودفع المؤذيات 

Artinya: “Tingkatan ikhlas yang ketiga adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian duniawi seperti kelapangan rizki dan terhindar dari hal-hal yang menyakitkan.”

Tingkat keikhlasan yang ketiga ini adalah tingkat keikhlasan yang paling rendah di mana orang yang beribadah dilakukan karena Allah namun ia memiliki harapan akan mendapatkan imbalan duniawi dengan ibadahnya itu. 

Sebagai contoh orang yang melakukan shalat dhuha dengan motivasi akan diluaskan rejekinya, aktif melakukan shalat malam dengan harapan akan mendapatkan kemuliaan di dunia, banyak membaca istighfar agar dimudahkan mendapatkan keturunan dan lain sebagainya.

Hal yang demikian ini masih tetap dianggap sebagai ikhlas karena agama sendiri menawarkan imbalan-imbalan tersebut ketika memotivasi umat untuk melakukan suatu amalan tertentu. Hanya saja tingkat keikhlasannya adalah tingkat paling rendah.

Lalu bagaimana bila seorang yang beribadah atau melakukan suatu amalan dengan motivasi selain tiga hal di atas? 

Semisal orang beribadah dengan harapan akan dipuji dan dianggap orang lain sebagai orang yang taat, mencari ilmu dengan harapan akan dihormati orang lain sebagai orang yang alim, bersedekah dengan harapan akan mendapatkan suara banyak dalam pemilihan lurah, kepala daerah atau wakil rakyat.

Imam Nawawi berkata yang demikian itu termasuk sikap riya yang tercela, bukan ikhlas. 

Beliau menegaskan:

وما عدا ذلك رياء مذموم

Artinya: “Selain ketiga motivasi di atas adalah riya yang tercela.”

Wallâhu a’lam (oh)

Pemuda dan Perjuangan Islam

Pemuda dan Perjuangan Islam

Menjelang keberangkatan Rasulullah dan para sahabatnya ke medan perang Badar, datanglah seorang remaja menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Usianya masih 13 tahun.

Ia datang dengan membawa sebilah pedang yang panjangnya melebihi panjang badannya. Setelah dekat kepada beliau dia berkata, “Saya bersedia mati untuk Anda, wahai Rasulullah! Izinkanlah saya pergi jihad bersama Anda, memerangi musuh-musuh Allah di bawah panji-panji Anda.”

Rasulullah gembira dengan dan takjub dengan remaja itu. Tetapi, beliau tidak mengizinkannya untuk berperang karena usianya yang masih sangat muda. Remaja itu pun kembali, dengan kesedihan yang mendalam, niatnya untuk memperjuangkan Islam belum bisa dilaksanakan.

Sementara itu, ibunya yang dari tadi melihat dari kejauhan, tidak kalah sedihnya. Sebab, putranya belum mendapat kesempatan membela Islam.

Tapi mereka tidak menyerah. Cita-cita remaja itu tidak melemah, bahkan semakin kuat. Demikian pula ibunya menginginkan. Karenanya, si ibu menghubungi kerabat-kerabatnya untuk menyampaikan tekad anaknya; berkontribusi untuk Islam dalam bidang lain yang lebih besar peluangnya untuk diterima. Mereka pun menghadap Rasulullah.

“Wahai Rasulullah! Ini anak kami. Dia hafal tujuh belas surat dari kitab Al-Qur’an. Bacaannya betul, sesuai dengan yang diturunkan Allah kepada Anda. Di samping itu dia pandai pula baca tulis Arab. Tulisannya indah dan bacaannya lancar. Dia ingin berbakti kepada Anda dengan keterampilan yang ada padanya, dan ingin pula mendampingi Anda selalu. Jika Anda menghendaki, silakan mendengarkan bacaannya.” Pinta salah seorang pamannya.

Selepas Rasulullah mendengar bacaannya, beliaupun menyuruh remaja itu untuk mempelajari bahasa Ibrani. Dalam waktu singkat ia berhasil, dan diangkat sebagai sekretaris Rasulullah ketika berinteraksi dengan orang-orang Yahudi. Remaja itulah yang membacakan surat Yahudi dan menuliskan surat Rasulullah untuk mereka.

Rasulullah kemudian menyuruhnya untuk belajar bahasa Suryani. Dalam waktu singkat ia berhasil, dan tugasnya bertambah. Ia pula yang menjadi sekretaris saat Rasulullah berinteraksi dengan orang-orang berbahasa Suryani.

Setelah Rasulullah benar-benar yakin dengan kompetensi dan syakhsiyah Islamiyah-nya, remaja itu pun diangkat menjadi sekretaris wahyu. Setiap kali ayat Al-Qur’an turun, ia segera dipanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menulisnya dan meletakkannya dengan urutan sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah. Remaja itu bernama Zaid bin Tsabit.
...

Demikianlah profil pemuda yang diinginkan Islam. Ia tidak hanya menikmati keislamannya seorang diri tetapi juga memiliki komitmen untuk memperjuangkan Islam.

15 abad yang lalu, seluruh muslim yang ikut dalam kafilah Haji Wada bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun ke-10 Hijrah, hanya berjumlah 100.000 sampai 125.000 jiwa. Jumlah itu setara 1 per 1000 dari total penduduk bumi ketika itu, yang berjumlah sekitar 100 juta jiwa.

Beberapa hari yang lalu, The Pew Forum on Religion and Public Life menyodorkan data bahwa jumlah umat Islam kini sebanyak 1,57 milyar orang. Jika perbandingan antara penduduk Muslim dengan penduduk bumi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah 1 per 1000, maka perbandingannya hari ini adalah 1 per 5 sampai 1 per 4. Subhaanallah, Allaahu akbar! Jumlah yang sangat banyak dan perkembangan yang sangat pesat, yang patut untuk kita syukuri.

Secara kuantitas kaum muslimin memang luar biasa. Tetapi itu belum mampu untuk membuat umat Islam kembali memperoleh kemuliaannya. Izzul Islam wal Muslimin. Sementara tujuan perjuangan Islam itu adalah

حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ [الأنفال/39]

…supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah (QS. Al-Anfal : 39)

Lalu bagaimana realita hari ini? Islam justru dicurigai, dipenuhi dengan stigma negatif, bahkan dianggap terbelakang dan tidak mampu menjawab tantangan zaman. Umat Islam yang banyak itupun ternyata sebagian besarnya baru sebatas berislam dalam identitas, belum mengaplikasikan Islam dalam kehidupannya. Sedangkan Allah subhanahu wata’ala sendiri memerintahkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ [البقرة/208]

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah : 208)

Melihat ketimpangan antara realita dan cita-cita Islam ini, kita memerlukan para pemuda untuk mengubahnya.

Mengapa para pemuda? Sebab pemudalah yang memiliki empat karakter yang diperlukan untuk mewujudkan itu.

Empat karakter itu adalah iman, ikhlas, semangat, dan amal.

Hasan Al-Banna dalam Majmu’atur Rasail mengatakan:

إنما تنجح الفكرة إذا قوي الإيمان بها ، وتوفر الإخلاص في سبيلها ، وازدادت الحماسة لها ، ووجد الاستعداد الذي يحمل على التضحية والعمل لتحقيقها . وتكاد تكون هذه الأركان الأربعة : الإيمان، والإخلاص ، والحماسة ، والعمل من خصائص الشباب . لان أساس الإيمان القلب الذكي ، وأساس الإخلاص الفؤاد النقي ، وأساس الحماسة الشعور القوي ، وأساس العمل العزم الفتي ، وهذه كلها لا تكون إلا للشباب

Sesungguhnya, sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya. Sepertinya keempat rukun ini, yakni iman, ikhlas, semangat, dan amal merupakan karekter yang melekat pada diri pemuda, karena sesungguhnya dasar keimanan itu adalah nurani yang menyala, dasar keikhlasan adalah hati yang bertaqwa, dasar semangat adalah perasaan yang menggelora, dan dasar amal adalah kemauan yang kuat. Itu semua tidak terdapat kecuali pada diri para pemuda. (Risalah Ila Syabab)

Itulah mengapa Al-Qur’an mengisahkan para pemuda yang memperjuangkan agama-Nya; diantaranya ada Ibrahim, Musa, Ashabul Kahfi. Itulah mengapa sejarah Islam juga diwarnai oleh para pemuda. Sebagian dari assaabiquunal awwalun yang ditarbiyah Rasulullah di rumah Arqam bin Abi Arqam ternyata adalah pemuda.

Dai yang ditugaskan Rasulullah untuk berdakwah di Madinah dan mengislamkan setiap rumah adalah Mush’ab bin Umair, seorang pemuda. Komandan perang sekaligus khalifah yang mampu menaklukkan konstantinopel ternyata juga seorang pemuda; Muhammad Al-fatih namanya.

Maka, para pemuda Islam sekarang sudah saatnya untuk menjadi seperti Zaid bin Tsabit dalam kisah di awal khutbah ini. Miliki komitmen untuk memperjuangkan Islam, dan Anda akan memperoleh pahala besar di sisi Allah subhanahu wata’ala.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ [محمد/7]

Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (QS. Muhammad : 7)

Tidak mungkin Islam ini memperoleh kembali kejayaannya, jika umat Islam hanya diam dan pasrah dengan kondisi yang ada. Sementara para pemudanya hanya berfoya-foya dan terjatuh dalam budaya hedonisme yang telah dkembangkan Barat.

Umat Islam, khususnya para pemudanya haruslah menjadi seperti hawariyyin yang difirmankan Allah subhanahu wata’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ فَآَمَنَتْ طَائِفَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَفَرَتْ طَائِفَةٌ فَأَيَّدْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا عَلَى عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا ظَاهِرِينَ [الصف/14]

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.(QS. Ash-Shaf :

Memperjuangkan Islam pada saat ini harus disesuaikan dengan kompetensi dan bidang masing-masing.

Sebagaimana Zaid bin Tsabit yang berjuang dengan ilmunya, Khalid bin Walid dengan kemampuan strategi perangnya, Utsman bin Affan dengan hartanya, dan lain sebagainya.

Maka, bagi Anda yang memiliki harta, gunakanlah harta itu untuk memperjuangkan Islam. Bagi Anda yang memiliki kemampuan menulis gunakanlah ia untuk memperjuangkan Islam. Bagi Anda yang memiliki kompetensi di bidang teknik, kedokteran, ekonomi, dan lain-lain, gunakanlah itu semua sebagai sarana memperjuangkan Islam.

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ (٩٩)لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Wallahu'alam (oh)

Ramadhan Madrasah Ikhlas

Ramadhan Madrasah Ikhlas

Salah satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari bulan Ramadhan, di dalamnya ditempa untuk senantiasa ikhlas dalam beramal.

Yang dimaksud ikhlas adalah memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata. Maka pantaslah Ramadhan disebut madrasah ikhlas.

Lihat saja dalam amalan puasa disebutkan,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760, dari Abu Hurairah).

Dalam amalan shalat malam atau shalat tarawih disebutkan,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759, dari Abu Hurairah). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 6: 36.

Juga ketika seseorang menghidupkan lailatul qadar dengan shalat malam disebutkan,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901, dari Abu Hurairah).

Yang dimaksud ihtisaban dalam hadits di atas berarti beramal karena mengharap pahala dari Allah. Itulah yang dimaksud ikhlas. Yang diharap bukanlah pujian manusia. Yang diharap bukanlah semata-mata harapan dunia.

Perhatikanlah bagaimana akibat dari amalan yang hanya ingin mengharap pujian manusia. Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata,

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ « أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِى مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ». قَالَ قُلْنَا بَلَى. فَقَالَ « الشِّرْكُ الْخَفِىُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّى فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami sedang mengingatkan akan (bahaya) Al Masih Ad Dajjal. Lantas beliau bersabda, “Maukah kukabarkan pada kalian apa yang lebih samar bagi kalian menurutku dibanding dari fitnah Al Masih Ad Dajjal?” “Iya”, para sahabat berujar demikian kata Abu Sa’id Al Khudri. Beliau pun bersabda, “Syirik khofi (syirik yang samar) di mana seseorang shalat lalu ia perbagus shalatnya agar dilihat orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 4204. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa haditsnya hasan).

Berbuat riya’ (pamer amalan) benar-benar tidak akan dipedulikan oleh Allah. Dalam hadits disebutkan,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya” (HR. Muslim no. 2985).

Imam Nawawi rahimahullah menuturkan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa” (Syarh Shahih Muslim, 18: 115).

Begitu pula orang yang beramal hanya mengharap dunia semata, ia benar-benar merugi. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)

Semestinya kita beribadah ikhlas karena Allah. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5).

Marilah kita jadikan bulan Ramadhan sebagai madrasah untuk melatih keikhlasan. Hanya Allah yang memberi taufik.

Wallahu'alam (oh).

Keadilan dan Pemimpin Yang Adil

IKHTISAR JUMAT, Keadilan dan Pemimpin Yang Adil Bandung, 1 November 2014 "Satu waktu nanti akan tiba atas umatku penguasa s...