Dosa Durhaka Kepada Orang Tua

Dosa Durhaka Kepada Orang Tua

الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادِهِ لِحِفْظِ حُدُوْدِهِ ، وَأَعَانَهُمْ بِمَنِّهِ وَفَضْلِهِ عَلَى اْلقِيَامِ بِحُقُوْقِهِ ، حَفِظُوْا حُدُوْدُ اللهِ فَحَفِظَهُمُ اللهُ ، وَاتَّجَهُوْا بِقُلُوْبِهِمْ إِلَى اْلإِسْتِعَانَةِ بِرَبِّهِمْ فَأَعَانَهُمُ اللهُ .عَلِمُوْا أَنَّ اْلأَمَّةَ لَوِاجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَنْفَعُواا لْعَبْدَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْهُ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَهُ، فَعَلَّقُوْا رَجَاءَهُمْ بِهِ، وَأَيْقَنُوْا أَنَّ اْلأَمَّةَ لَوِاجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوااْلعَبْدَ بِشَيْئٍ لَمْ يُضِرُّوْهُ إِلاَّ بِشَيْئٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْهِ ، فَاعْتَمَدُوْا عَلَيْهِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَبِيَدِهِ مَلَكُوْتُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، اْلبَشِيْرُ النَّذِيْرُ ، السِّرَاجُ الْمُنِيْرُ ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى أَلِهِ، وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَىْ يَوْمِ الدِّيْنِ

أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ:
اِتَّقُوْا اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Ibadallah,

Sesungguhnya jasa kedua orang tua terhadap anaknya sangat besar. Fakta ini tidak bisa diingkari oleh siapapun juga. Seorang ibu telah mengandung anaknya dalam keadaan lemah dan susah. Dia menyabung nyawa untuk melahirkan anaknya. Kemudian memelihara dan menyusui dengan penuh kelelahan dan perjuangan selama dua tahun.

Allah ‘Azza wa Jalla memberitakan sebagian jasa tersebut dalam firman-Nya :

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaf: 15).

Demikian juga sang bapak menantang panas dan hujan guna mencukupi kebutuhan keluarganya. Sehingga tidak heran jika keduanya memiliki hak yang harus dipenuhi oleh sang anak, bahkan hak orang tua itu mengiringi hak Allah ‘Azza wa Jalla. Dia berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak.” (QS. An-Nisa`: 36).

Ibadallah,

Berbakti kepada orang tua adalah kewajiban yang utama

Hak kedua orang tua itu melebihi manusia manapun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hal ini dalam hadits sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perbuatan kebaikanku?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ibumu,” lelaki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ibumu,” Lelaki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa ?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ibumu,” Lelaki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa ?” Beliau menjawab, “Bapakmu”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Bahkan kewajiban berbakti kepada orang tua itu melebihi kewajiban jihad fi sabilillah.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنَ اللَّهِ قَالَ فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ قَالَ نَعَمْ بَلْ كِلَاهُمَا قَالَ فَتَبْتَغِي الْأَجْرَ مِنَ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَارْجِعْ إِلَى وَالِدَيْكَ فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا

Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Aku berbai’at kepadamu untuk hijrah dan jihad, aku mencari pahala dari Allah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih hidup?’ Dia menjawab, “Bahkan keduanya masih hidup.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah kamu mencari pahala dari Allah?” Dia menjawab, “Ya”. Nabi bersabda, “Kalau begitu pulanglah kepada kedua orang tuamu, lalu temanilah keduanya dengan sebaik-baiknya”. (HR Muslim).

Ibadallah,

Durhaka kepada orang tua adalah dosa besar.

Selain memerintahkan birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua), agama Islam juga melarang ‘uququl walidain (durhaka kepada kedua orang tua), bahkan memasukkannya ke dalam dosa-dosa besar yang mengiringi syirik. Banyak hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ini, antara lain:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْكَبَائِرُ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ قَالَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ ثُمَّ عُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْيَمِينُ الْغَمُوسُ قُلْتُ وَمَا الْيَمِينُ الْغَمُوسُ قَالَ الَّذِي يَقْتَطِعُ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ هُوَ فِيهَا كَاذِبٌ

Dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Seorang Arab Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah dosa-dosa besar itu?” Beliau menjawab, “Menyekutukan sesuatu dengan Allah”, ia bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Kemudian durhaka kepada dua orang tua,” ia bertanya lagi, “Kemudian apa ?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sumpah yang menjerumuskan”. Aku bertanya, “Apa sumpah yang menjerumuskan itu?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sumpah dusta yang menjadikan dia mengambil harta seorang muslim”. (HR al-Bukhari).

Walaupun kedudukan orang tua begitu tinggi, tetapi banyak orang melupakan tuntunan agama yang suci ini. Mereka tidak peduli lagi dengan hak mereka dan tidak menunaikannya sebagaimana mestinya.

Ibadallah,

Adapun bentuk-bentuk durhaka kepada orang tua atau uququl walidain adalah:
 tidak menaatinya, memutuskan hubungan dengan keduanya, dan tidak berbuat baik kepada keduanya. (Lihat Lisanul ‘Arab, karya Ibnul- Manzhur).

Fenomena durhaka kepada orang tua itu sangat banyak, antara lain sebagai berikut :

Pertama: Mengucapkan perkataan yang menunjukkan tidak suka, seperti “ah” atau semacamnya, dan demikian juga membentak dan bersuara keras kepada orang tua.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan beribadah kepada selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra`: 23).

Jika ada kata yang lebih ringan dari “ah” yang menyakitkan orang tua, tentu sudah dilarang juga. Ketika mengucapkan “ah” kepada orang tua sudah dilarang, apalagi mengucapkan kata-kata yang lebih kasar dari itu atau memperlakukan mereka dengan buruk, maka itu lebih terlarang.

Kedua: Mengucapkan perkataan atau melakukan perbuatan yang menyebabkan orang tua bersedih hati, apalagi sampai menangis.

Ketiga: Bermuka masam dan cemberut kepada orang tua.

Sebagian orang didapati sebagai orang yang pandai bergaul, suka tersenyum, dan berwajah ceria bersama kawan-kawannya. Namun ketika masuk ke dalam rumahnya, bertemu dengan orang tuanya, dia berbalik menjadi orang yang kaku dan keras, berwajah masam dan berbicara kasar. Alangkah celakanya orang yang seperti ini. Padahal seharusnya orang yang dekat itu lebih berhak terhadap kebaikannya.

Keempat: Mencela orang tua, baik secara langsung maupun tidak langsung.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk dosa besar, (yaitu) seseorang mencela dua orang tuanya,” mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah orang yang mencela dua orang tuanya ?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, seseorang mencela bapak orang lain, lalu orang lain itu mencela bapaknya. Seseorang mencela ibu orang lain, lalu orang lain itu mencela ibunya.” (HR al-Bukhari, no. 5 628; Muslim, no. 90. Lafazh hadits ini milik Imam Muslim)

Kelima: Memandang sinis kepada orang tua.

Yaitu memandangnya dengan sikap merendahkan, menghinakan, atau kebencian.

Keenam: Malu menyebut mereka sebagai orang tuanya.

Sebagian anak diberi kemudahan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam masalah duniawi, sehingga ia menjadi orang terpandang di hadapan masyarakat. Namun sebagian mereka kemudian merasa malu mengakui keadaan orang tuanya yang terbelakang di dalam tingkat sosial atau ekonominya.

Ketujuh: Memerintah orang tua.

Seperti memerintah ibu untuk menyapu rumah, mencuci baju, menyiapkan makanan. Tindakan ini tidak layak, apalagi jika ibu dalam keadaan lemah, sakit, atau sudah tua. Namun jika sang ibu melakukan dengan sukarela dan senang hati, dalam keadaan sehat dan kuat, maka tidak mengapa.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْانِ الْعَظِيْمِ , وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ , أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ الله َلِيْ وَلَكُمْ وَلِكَافَةِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ , فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah Kedua:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي الْآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ

أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ:

اِتَّقُوْا اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Ibadallah,

Bentuk lainnya dari sifat yang merupakan durhaka kepada orang tua adalah:

Kedelapan: Memberatkan orang tua dengan banyak permintaan.

Sebagian orang banyak menuntut orang tuanya dengan berbagai permintaan, padahal orang tuanya dalam keadaan tidak mampu. Ada anak yang meminta dibelikan baju-baju model baru, handphone baru, sepeda motor, atau lainnya. Bahkan ada seseorang sudah menikah, kemudian meminta orang tuanya untuk dibelikan mobil, atau dibuatkan rumah, atau meminta uang yang banyak, dan semacamnya.

Kesembilan: Lebih mementingkan isteri daripada orang tua.

Sebagian orang lebih mentaati isterinya daripada mentaati kedua orang tuanya. Sebagian orang berlebihan dalam menampakkan kecintaan kepada isterinya di hadapan orang tua, tetapi pada waktu yang sama ia bersikap kasar kepada orang tuanya.

Kesepuluh: Meninggalkan orang tua ketika masa tua atau saat membutuhkan anaknya.

Sebagian anak ketika menginjak dewasa memiliki pekerjaan yang mengharuskannya untuk meninggalkan orang tuanya, lalu ia sibuk dengan urusannya sendiri. Sehingga sama sekali tidak melakukan kebaikan untuk orang tuanya, baik dengan doa, bantuan uang, tenaga, maupun lainnya.

Inilah diantara bentuk-bentuk kedurhakaan yang harus ditinggalkan. Demikian juga bentuk-bentuk lainnya yang merupakan kedurhakaan, maka harus dijauhi. Semoga Allah selalu membimbing kita dalam kebaikan.

وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْرَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الهَدْيِّ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ يَدَ اللهِ عَلَى الجَمَاعَةِ، وَمَنْ شَذَّ شَذَّ فِي النَّارِ.

(إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا)، اللَّهُمَّ صلِّ وسلِّم عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ نَبِيَّنَا مُحَمَّدٍ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلفَائِهِ الرَاشِدِيْنَ، اَلْأَئِمَّةِ اَلْمَهْدِيِيْنَ، أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، وَعَلِيٍّ، وَعَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.

اللَّهُمَّ أعِزَّ الإسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ، وَاجْعَلْ هَذَا البَلَدُ آمِناً مُسْتَقِرًّا وَسَائِرَ بِلَادِ المُسْلِمِيْنَ عَامَةً يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ، اَللَّهُمَّ احْفَظْ عَلَيْنَا أَمْنَنَا وَإِيْمَانَنَا وَاسْتِقْرَارَنَا فِي أَوْطَانِنَا، وَآمِّنَا فِي دُوَرِنَا وَأَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ وَلَا يَرْحَمُنَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ كُفْ عَنَّا بَأْسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَأَنْتَ أَشَدُّ بَأْسًا وَأَشَدُّ تَنْكِيْلًا، اَللَّهُمَّ احْفَظْ هَذِهِ البِلَادَ، اَللَّهُمَّ احْفَظْ هَذِهِ البِلَادَ، اَللَّهُمَّ احْفَظْ هَذِهِ البِلَادَ، آمِنَةً مُسْتَقِرَّةً وَاحْفَظْ بِلَادَ المُسْلِمِيْنَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ.

اَللَّهُمَّ اصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا وَاجْعَلْهُمْ هُدَاةَ مُهْتَدِيْنَ غَيْرَ ضَالِّيْنَ وَلَا مُضِلِّيْنَ، اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ بِطَانَتَهُمْ وَابْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالمُفْسِدِيْنَ (رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنْ الْخَاسِرِينَ).

عِبَادَ اللهِ، (إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ)، (وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلا تَنقُضُوا الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمْ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ)، فَاذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرَ، وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.

Setiap Hari Adalah Hari Kasih Sayang

Khutbah Jumat 
Setiap Hari Adalah Hari Kasih Sayang
(diambil dari majalah suara muhammadiyah)

Jamaah jum’at rahimakumullah.

Mengawali khutbah Jum’at ini, saya pribadi mengajak diri saya pribadi dan jamaah sekalian, untuk selalu bersyukur kepada Allah atas segala dan karunia-Nya yang selalu tercura kpd ikita. Hanya dengan nikmat dan karunia-Nya itulah kita sampai saat ini berekesempatan menikmati terangnya siang dan gelapmya malam serta berkesempatan melaksanakan ibadah shalat Jum’at di tempat yang diberkati ini.

Semoga Allah Yang Maha Segala-galanya terus melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada kita, karena hanya Dialah yang Mahakaya namun Mahapemurah, Maha Kuasa namun Mahapengasih. 

Shalawat dan salam marilah selalu kita panjatkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW yang telah memberikan bimbingan yang terbaik bagi kita dalam menjalani kehidupan ini. Mudah-mudahan kita dapat menyontoh pola perilaku beliau selama hidup kita di dunia ini.

Jamaah jum’at yang dikasihi Allah SwT

Sekarang ini kita berada di bulan Pebruari, bulan kasih sayang kata anak-anak muda zaman sekarang. Bulan yang pada pertengahnnya ada hari yang disebut secara sembrono sebagai hari kasih sayang atau Valentine Day. Bagi kebanyakan orang yang sudah berusia tua mungkin kurang akrab dengan istilah Valentine day atau hari kasih sayang.

Namun, istilah itu sangat akrab di kalangan anak muda. Anak-anak muda yang masih duduk di sekolah menegah pertama sampai mahasiswa semester akhir pasti akrab dengan istilah itu. 

Pada tanggal menjelang 14 Pebruari banyak anak-anak muda kita yang sibuk membeli coklat untuk dikasihkan kepada teman yang dikasihinya. Para tanggal-tanggal itu banyak anak-anak gadis kita yang masih belia sibuk mendadani dirinya pakaian dan aksesoris yang didominasi warna merah muda. Warna romantis kata mereka.

Pada hari-hari itu banyak anak-anak belia kita yang terlihat berlebihan dalam menunjukkan rasa cinta dan rasa kasih sayangnya kepada teman-teman yang mereka anggap istimewa. 

Hari-hari itu dianggap sebagai hari yang tepat untuk berkasih-kasihan. Oleh kaerena itu pada hari-hari itu banyak terjadi kecelakaan pergaulan, banyak anak muda yang “kebalablasan” dalam menunjukkan cinta kasihnya sehingga terjerumus dalam jurang perzinahan.

Sesungguhnya apakah hari kasih sayang atau valentine day itu sendiri? 

Yang jelas, valentine day adalah budaya impor dari dunia barat. Budaya itu tidak mempunyai akar dalam budaya Indonesia. Asal mula budaya ini sendiri juga sangat simpang siur. Ada yang mengatakan bersumber dari tradisi suatu agama tertentu namun ada pula yang mengatakan budaya ini tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Mengenai asal muasal budaya Valentine Day itu ada banyak versi yang beredar. Dua di antaranya adalah

Budaya ini bermula pada abad ke-3 M, saat raja Romawi yang bernama Claudius menghukum pancung seorang pendeta bernama Santo Valentine pada tanggal 14 Februari 269 M. Santo Valentine dihukum pancung karena menikahkan seorang prajurit muda peserta wajib militer kerajaan yang ingin menikah. Saat itu, tindakan Santo Valentine dianggap sebagai melawan peraturan kerajaan. Saat itu Claudius sedang getol menghimpun anak muda untuk mau jadi tentara kerajaan guna menakhlukan kerajaan yang lain. Namun hanya sedikit anak muda yang mau jadi prajurit, Caludius berpikir kalau anak muda dilarang menikah maka dia akan suka rela menjadi prajurit kerajaan karena hatinya tidak lagi terpaut dalam keluarga.

Bagi pihak gereja tertentu, tindakan Santo Valentine tersebut dianggap benar karena telah melindungi orang yang menjalin cinta, sehingga dia dinobatkan sebagai pahlawan kasih sayang. Sehingga, tercatatlah dalam sejarah bahwa setiap tanggal 14 Februari diperingati sebagai hari kasih sayang.

Versi yang lain pada masa itu ada anak muda biasa yang bernama Valentine yang ditangkap petugas kerajaan karena menolak menjadi prajurit. Saat itu semua laki-laki warga kerajaan Roma diwajibkan menjadi Prajurit Kerajaan dalam waktu tertentu. (semacam Wamil). Dia tidak mau jadi prajurit karena merasa hatinya hanya dipenuhi dengan cinta kasih, dia tidak bisa menjadi prajurit yang bertugas membunuh orang lain. Oleh karena itu dia dipenjara dan terus disiksa selama berbulan-bulan supaya tumbuh rasa benci dan hasrat membunuhnya.

Namun upaya itu tidak berhasil, akhirnya dia akan dihukum mati pada suatu pagi di tanggal 14 Pebruari. Pada malam menjelang hukuman mati itu dia menulis surat panjang yang dititipkan kepada petugas penjara. 

Ada yang mengatakan surat itu ditujkan kepada kekasihnya ada pula yang mengatakan suarat itu ditujukan kepada ibunya. Yang jelas surat itu ditujukan kepada perempuan yang lumpuh dan buta namun sangat dia kasihi. 

Inti surat itu adalah permintaan maaf karena tidak bisa lagi mengurus dirinya. Dia tidak aka bisa lagi bercerita tentang indahnya pagi ketika matahri menyingsing dan bunga-bunga bermekaran, tentang indahnya senja ketika burung-butrung pulang ke sarang, tentang indahnya malam ketika bintang berenang di antara mega dan lain sebagainya. 

Konon siapapun yang membaca atau mendengar orang membaca surat itu pasti akan menitikkan air mata dan terguncang semua saraf cinta kasihnya.

Lepas dari asal mulanya, inti dari tradisi Valentine adalah mengistimewakan satu hari tertentu (14 Pebruari) untuk menunjukkan kasih saying kepada orang yang dikasihi. Bisa kepada suami/istri kita, kepada teman atau kepada anak/orangtua.

Jamaah jum’at yang disayangi Allah SwT

Bagaimanakah dengan agama Islam? Apakah Islam juga mengenal hari kasih sayang? Jawabannya adalah YA. Namun, agama Islam tidak pernah mengkhususkan hari dan tanggal tertentu untuk menunjukan rasa kasih sayang kita kapada sesama. Islam malah mewajibkan umatnya untuk merayakan hari cinta kasih itu setiap hari dan setiap saat. 

Bukankah di dalam Islam ada tuntuntan untuk memulai segala sesuatu dengan mengucap kalimat basmallah, bismillahirahmirrahim yang berarti dengan menyebut nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang.

Tentu saja cara merayakan Kasih sayang menurut agama Islam itu berbeda dengan cara kaum jahiliyah dalam merayakan cinta kasihnya. 

Cara menunjukan kasih sayang kita kepada orang tua adalah dengan menghormati dan memperlakukan mereka dengan baik sebagaimana tuntunan Allah dalam surat Al-Luqman. Cara menunjukan kasih sayang kita kepada yang lebih muda adalah dengan membimbing mereka supaya selalu teguh di jalan Allah. Dan sebagainya.

Yang jelas cara menunjukan kasih sayang di dalam Islam adalah tidak dengan cara berkasih-kasihan antar sesama anak muda. Karena cara berkasih-kasihan dan berpacar-pacaran seperti yang dilakukan kebanyakan anak muda sekarang ini adalah perbuatan yang nyerempet bahaya. Yaitu bahaya Zina. Dalam hal ini dengan snagat jelas Allah sudah berfirman

Dalam Suarat Al-Isra’ (17) ayat 32
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Cara merayakan hari kasih sayang dengan cara anak-anak muda zaman yang sekarang ini harus kita tinggalkan.

Jamaah jum’at yang dikasihi Allah SwT

Virus Valentine day yang berkembang secara sesat ini harus kita waspadai karena awal bulan januari 2016 yang lalu ada sebuah harian yang memberitakan kalau di pada malam pergantian tahun 2015 ke 2016 omzet penjualan kondom di apotek maupun di supermaket melonjak 100%. Kejadian itu terjadi di beberapa kota besar dan kecil di Indonesia.

Setiap Hari Adalah Hari Kasih Sayang

Para pembeli kondom di malam tahun baru itu hampir semuanya berusia belia. Remaja yang duduk di bangku sekolah menengah maupun mahasiswa yang masih mencari ilmu di bangku-bangku kuliah. Para belia pembeli alat pencegah kehamilan di malam tahun baru itu kemungkinan besar adalah remaja yang belum mempunyai status sebagai suami maupun sebagai isteri. Jadi, sangat kecil kemungkinannya alat kontrasepsi itu dipakai secara halal. Apakah para remaja yang membeli alat pencegah kehamilan itu karena disuruh orangtuanya? Sepertinya juga tidak mungkin. Kemungkinan besar alat itu akan mereka pakai sendiri.

Kalau kita cermat membaca pemberitaan media, baik media cetak maupun media eloktronik, kejadian peningkatan omzet penjualan alat kontrasepsi ini akan selalu berulang dan berulang lagi. Setiap tahun penjualan kondom akan mengalami lonjakan dua kali yaitu. Di malam tahun baru dan pada tanggal 14 Pebruari, yang biasa disebut oleh anak-anak muda sebagai valentine day.

Jamaah jum’at yang diberkahi Allah SwT

Setiap zaman mempunyai tantangan masing-masing. Salah satu tantangan dan ujian kita saat ini adalah gelombang budaya sesat produk kaum kapitalis yang serakah. Gelombang budaya yang hanya menuruti nafsu kemanusiaan yang mengejar kesenangan sesaat. Salah satunya contoh dari gelombang budaya yang sesat adalah perayaan hari Valentine yang sekarang banyak dirayakan oleh anak-anak belia kita.

Kita tentu tidak cukup kalau hanya mengutuk dan mencaci anak-anak belia yang sebenarnya adalah korban dari hantaman gelombang budaya sesat dan jahiliyah itu. Daripada sibuk mengutuk dan memberikan dalil-dalil agama yang mungkin tidak mereka mengerti, tampaknya kita lebih baik selalu memberi mereka nasehat dengan cara yang ma’ruf, memberi pengertian secara perlahan namun ajeg, serta memberi contoh yang nyata dalam menunjukan rasa cinta dan kasih sayang kita kepada sesama manusia.

Dan yang tidak kalah penting adalah senantisa waspada dan senantiasa memperkuat dasar iman di hati kita dan keluaraga kita..

Akhirnya, marilah kita akhiri pertemuan yang mulia ini dengan berdoa, semoga Allah SwT berkenan memberikan kepada kita nalar yang jernih dan hati yang terbimbing sehingga kita bisa lulus dari semua ujian yang diberikan kepada kita. Dan semoga kita termasuk orang yang senantiasa bergegas dalam melaksanakan kebaikan. Amin.

Hadits Keempat Puluh

Hadits Keempat Puluh
عَنْ ابْنِ عُمَرْ رضي الله عَنْهُمَا قَالَ : أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَنْكِبَيَّ فَقَالَ : كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ . وَكاَنَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ : إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ .
[رواه البخاري]

Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memegang pundak kedua pundak saya seraya bersabda : Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau pengembara “, Ibnu Umar berkata : Jika kamu berada di sore hari jangan tunggu pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari jangan tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu untuk (persiapan saat) sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu “
(Riwayat Bukhori)
Pelajaran :
1.     Bersegera mengerjakan pekerjaan baik dan memperbanyak ketaatan, tidak lalai dan menunda-nunda karena dia tidak tahu kapan datang ajalnya.
2.     Menggunakan berbagai kesempatan dan momentum sebelum hilangnya berlalu.
3.     Zuhud di dunia berarti tidak bergantung kepadanya hingga mengabaikan ibadah kepada Allah ta’ala untuk kehidupan akhirat.
4.     Hati-hati dan khawatir dari azab Allah adalah sikap seorang musafir yang bersungguh-sungguh dan hati –hati agar tidak tersesat.
5.     Waspada dari teman yang buruk hingga tidak terhalang dari tujuannya.
6.     Pekerjaan dunia dituntut untuk menjaga jiwa dan mendatangkan manfaat, seorang muslim hendaknya menggunakan semua itu untuk tujuan akhirat.
7.     Bersungguh-sungguh menjaga waktu dan mempersiapkan diri untuk kematian dan bersegera bertaubat dan beramal shaleh.
8.     Rasulullah memegang kedua pundak Abdullah bin Umar, adalah agar beliau memperhatikan apa yang akan beliau sampaikan. Menunjukkan bahwa seorang pelajar harus diajarkan tentang perhatian gurunya kepadanya dan kesungguhannya untuk menyampaikan ilmu kedalam jiwanya. Hal ini dapat menyebabkan masuknya ilmu, sebagaimana hal itu juga menunjukkan kecintaan Rasulullah kepada Abdullah bin Umar, karena hal tersebut pada umumnya dilakukan oleh seseorang kepada siapa yang dicintainya.

sumber : hadits arbain annawai

Tiga Tingkatan Ikhlas

Tiga Tingkatan Ikhlas

Sudah menjadi maklum bahwa ikhlas merupakan satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang. Tanpa keikhlasan sebaik apapun amal yang dilakukan oleh seorang mukmin tak akan ada nilainya di sisi Allah subhânahû wa ta’âlâ.

Di dalam At-Ta’rîfât karya Ali Al-Jurjani disebutkan bahwa ikhlas adalah engkau tidak mencari orang yang menyaksikan amalmu selain Allah. Ikhlas juga diartikan membersihkan amal dari berbagai kotoran (Ali Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1983], hal. 14).

Prof. Dr. M. Qurais Shihab seringkali memberikan satu gambaran tentang ikhlas dengan sebuah gelas yang penuh air putih. Tak ada sedikit pun yang ada dalam gelas itu selain murni air putih belaka, tanpa tercampuri apa pun. Itulah yang disebut dengan ikhlas. 

Seseorang melakukan satu amalan hanya karna Allah semata, tak ada satu pun motivasi lain yang mencampurinya. Tak ada harapan surga, tak ada keinginan enaknya hidup di dunia, semua murni karena menghamba kepada Allah saja.

Meski demikian ada kriteria tertentu di mana seseorang melakukan suatu amalan dengan motivasi tertentu namun masih dikategorikan sebagai ikhlas. 

Syekh Muhammad Nawawi Banten di dalam  Nashâihul ‘Ibâd,  hal. 58  membagi keikhlasan ke dalam 3 (tiga) tingkatan.

Tingkatan pertama yang merupakan tingkat paling tinggi di dalam ikhlas sebagai berikut:

فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك

Artinya: “Tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.”

Pada tingkatan ini orang yang melakukan amalan atau ibadah tidak memiliki tujuan apapun selain hanya karena menuruti perintah Allah semata. 

Ia menyadari bahwa dirinya adalah hamba atau budaknya Allah sedangkan Allah adalah tuannya. Maka baginya sudah selayaknya seorang hamba taat dan patuh serta menuruti apapun yang diperintahkan oleh tuannya tanpa berharap mendapatkan imbalan apapun.

Orang yang beramal dengan keikhlasan tingkat ini sama sekali tak terpikir olehnya balasan atas amalnya itu. Pun ia tak peduli apakah kelak di akhirat Allah akan memasukkannya ke dalam surga atau neraka. Ia hanya berharap ridlo Tuhannya. 

Tngkatan ikhlas yang kedua :

والمرتبة الثانية أن يعمل لله ليعطيه الحظوظ الأخروية كالبعاد عن النار وادخاله الجنة وتنعيمه بأنواع ملاذها

Artinya: “Tingkat keikhlasan yang kedua adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian-bagian akhirat seperti dijauhkan dari siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam surga dan menikmati berbagai macam kelezatannya.”

Pada tingkatan kedua ini orang yang beramal melakukan amalannya karena Allah namun di balik itu ia memiliki keinginan agar dengan ibadahnya kelak di akherat ia akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah. 

Ia beribadah dengan harapan kelak di hari kiamat terselamatkan dari berbagai keadaannya yang mengerikan, terlindungi dari panas yang menyengat, dimudahkan hisabnya, hingga pada akhirnya ia tidak dimasukkan ke dalam api neraka tapi sebaliknya Allah berkenan memasukkannya ke dalam surga sehingga ia dapat menikmati berbagai fasilitas yang tiada duanya.

Beribadah dengan niat dan motivasi seperti ini masih dikategorikan sebagai ikhlas, hanya saja bukan ikhlas yang sesungguh-sungguhnya ikhlas. 

Keikhlasan seperti ini ada pada tingkatan kedua di bawah tingkat keikhlasan pertama. Ini diperbolehkan mengingat Allah dan Rasulullah sangat sering memotivasi para hamba dan umatnya untuk melakukan amalan tertentu dengan iming-iming pahala yang besar dan kenikmatan yang luar biasa di akhirat kelak.

Tingkatan ikhlas yang ketiga adalah

والمرتبة الثالثة أن يعمل لله ليعطيه حظا دنيويا كتوسعة الرزق ودفع المؤذيات 

Artinya: “Tingkatan ikhlas yang ketiga adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian duniawi seperti kelapangan rizki dan terhindar dari hal-hal yang menyakitkan.”

Tingkat keikhlasan yang ketiga ini adalah tingkat keikhlasan yang paling rendah di mana orang yang beribadah dilakukan karena Allah namun ia memiliki harapan akan mendapatkan imbalan duniawi dengan ibadahnya itu. 

Sebagai contoh orang yang melakukan shalat dhuha dengan motivasi akan diluaskan rejekinya, aktif melakukan shalat malam dengan harapan akan mendapatkan kemuliaan di dunia, banyak membaca istighfar agar dimudahkan mendapatkan keturunan dan lain sebagainya.

Hal yang demikian ini masih tetap dianggap sebagai ikhlas karena agama sendiri menawarkan imbalan-imbalan tersebut ketika memotivasi umat untuk melakukan suatu amalan tertentu. Hanya saja tingkat keikhlasannya adalah tingkat paling rendah.

Lalu bagaimana bila seorang yang beribadah atau melakukan suatu amalan dengan motivasi selain tiga hal di atas? 

Semisal orang beribadah dengan harapan akan dipuji dan dianggap orang lain sebagai orang yang taat, mencari ilmu dengan harapan akan dihormati orang lain sebagai orang yang alim, bersedekah dengan harapan akan mendapatkan suara banyak dalam pemilihan lurah, kepala daerah atau wakil rakyat.

Imam Nawawi berkata yang demikian itu termasuk sikap riya yang tercela, bukan ikhlas. 

Beliau menegaskan:

وما عدا ذلك رياء مذموم

Artinya: “Selain ketiga motivasi di atas adalah riya yang tercela.”

Wallâhu a’lam (oh)

Keadilan dan Pemimpin Yang Adil

IKHTISAR JUMAT, Keadilan dan Pemimpin Yang Adil Bandung, 1 November 2014 "Satu waktu nanti akan tiba atas umatku penguasa s...