(Tadabbur Surat Al Furqon Ayat 63-77)
Ibadurrahman adalah hamba-hamba Allah yang spesial, dimana Allah ﷻ menyebutkannya di dalam firman-Nya surat Al-Furqan ayat 63-77. Allah ﷻ menjelaskan sifat-sifat hamba-Nya yang spesial dengan membuka firman-Nya,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”.” (QS. Al-Furqan: 63)
Para ulama menjelaskan bahwa sifat-sifat ini adalah sifat-sifat yang selalu melazimi ibadurrahman dan mereka selalu seperti itu. Thahir Ibnu ‘Asyur menyebutkan bahwa lebih tepatnya ada 10 sifat ibadurrahman pada ayat ini. Di penghujung ayat Allah ﷻ menyebutkan tentang buah dari sifat-sifat tersebut,
أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا
“Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka, dan di sana mereka akan disambut dengan penghormatan dan salam.” (QS. Al-Furqan: 75)
Dengan penuh kesabaran mereka dalam melazimi sifat-sifat tersebut, maka mereka meraih tempat surga yang tinggi. Sebagian ulama menyebutkan kedudukan ayat tersebut, bahwa sifat-sifat ibadurrahman yang disebutkan pada ayat-ayat ini, وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ adalah mubtada’nya, dan ayat-ayat setelahnya yang diawali الَّذِينَ adalah sifat-sifatnya, sedangkan أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ adalah khabarnya(Tafsir Al-Qurthubi 13/68).
Di antara karunia Allah ﷻ tatkala menyebutkan sifat-sifat ibadurrahman adalah Allah ﷻ tidak meyebutkan bahwa mereka adalah para sahabat atau tabi’in atau a’immah ataupun ulama pada zaman dahulu. Akan tetapi, Allah ﷻ menyebutkannya dengan sifat-sifat tertentu. Sehingga hal ini memotivasi bagi siapa saja yang membaca ayat-ayat ini untuk menjadi seperti mereka. Artinya peluang terbuka lebar untuk menjadi ibadurrahman bagi setiap orang muslim dari mana pun asalnya, golongannya, sukunya, masanya atau negerinya, dengan syarat mereka harus memenuhi sifat-sifat yang disebutkan oleh Allah ﷻ tentang ibadurrahman tersebut.
Oleh karenanya, ketika kita membaca ayat ini, hendaknya kita memberikan perhatian yang serius agar kita mengetahui, meniru dan melakukan sifat-sifat atau kriteria tersebut. Siapa tahu, dengan karunia dan hidayah dari Allah ﷻ, kita mampu menjadi golongan ibadurrahman.
Allah ﷻ berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”.” (QS. Al-Furqan: 63)
Hamba-hamba yang dimaksud di dalam ayat tersebut adalah hamba-hamba yang spesial. الْعُبُوْديَّة ‘penghambaan’ yang disandarkan kepada Allah ﷻ memiliki dua kemungkinan,
Pertama, الْعُبُوْديَّة ‘penghambaan’ yang berkaitan dengan rububiyah.
Kedua, الْعُبُوْديَّة ‘penghambaan’ yang berkaitan dengan uluhuiyah.
Maksud الْعُبُوْديَّة ‘penghambaan’ yang berkaitan dengan rububiyah adalah semua makhluk adalah hamba Allah, baik kafir, musyrik ataupun mukmin (Tafsir As-Sa’di 1/586). Berdasarkan firman Allah ﷻ,
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba.” (QS. Maryam: 93)
Namun, yang dimaksud ibadurrahman bukanlah yang disebutkan di dalam ayat ini. Yang dimaksud ibadurrahman adalah hamba-hamba yang telah mewujudkan ‘ubudiyah di dalam kehidupan keseharian mereka. Hal ini sama seperti ketika Allah ﷻ memuji Nabi ﷺ pada sisi ibadahnya. Sebagaimana diketahui bahwa Nabi ﷺ memiliki dua sifat utama yaitu عَبْدُ اللَّه وَ رَسُوْلُه ‘hamba Allah dan utusan-Nya’. Nabi ﷺ tidak hanya sekedar dipuji dari sisi beliau sebagai seorang Rasul أَشْرَفُ الْمُرْسَلِيْن ‘rasul yang paling mulia’, namun beliau juga dipuji dari sisi beliau sebagai seorang hamba. Bahkan, di dalam beberapa ayat Allah ﷻ memuji Nabi ﷺ dengan mengangkat sifat ‘ubudiyahnya dan juga pada saat beliau berada pada kondisi-kondisi genting. Contohnya adalah seperti firman Allah di dalam surat Al-Isra’(Tafsir Al-Qurthubi 13/67),
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa.” (QS. Al-Isra’: 1)
Pada ayat ini Allah ﷻ menyebutkan dengan بِعَبْدِهِ ‘hamba-Nya’ dan tidak menyebutkan بِرَسُوْلِهِ ‘rasul-Nya’. Padahal, keadaan tersebut termasuk dalam kondisi genting, yaitu tatkala orang-orang kafir mengingkari adanya Isra’ dan Mikraj, karena menurut mereka hal itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal. Saat itu adalah kondisi yang genting, bahkan waktu itu sebagian orang ada yang murtad. Namun, Allah ﷻ menetapkan dan menampilkan sifat ‘ubudiyah beliau ﷺ.
Begitu juga halnya tatkala Rasulullah ﷺ sedang mendirikan shalat dan hendak diganggu oleh orang-orang musyrikin. Allah ﷻ berfirman,
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ
“Dan sesungguhnya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (melaksanakan shalat).” (QS. Al-Jinn: 19)
Di dalam ayat ini Allah ﷻ menyebut Nabi ﷺ dengan عَبْدُ اللَّهِ ‘hamba Allah’.
Oleh karenanya, maksud penghambaan pada surat Al-Furqan ini adalah peribadatan (الألوهِيَّة) ‘kepada Allah’. Mereka adalah hamba-hamba yang spesial yang tunduk kepada Allah ﷻ dan beribadah kepada-Nya di dalam setiap langkah kaki dan sikap mereka. Orang yang paling tinggi dalam mewujudkan ‘ubudiyahnya adalah Nabi ﷺ. Di antara bentuk ibadah Nabi ﷺ, sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Mughirah radhiallahu’anhu,
قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَوَرَّمَتْ قَدَمَاهُ
“Nabi ﷺ mendirikan shalat hingga bengkak kedua kaki beliau.”(HR. Bukhari no. 4836)
Bahkan, disebutkan di dalam riwayat yang lain dari ‘Aisyah radhiallahu’anha,
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا
“Sesungguhnya Nabi ﷺ mendirikan shalat malam hingga pecah-pecah kedua kakinya, lalu ‘Aisyah berkata: ‘Kenapa engkau berbuat demikian, wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?’ beliau ﷺ bersabda, ‘Apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?’.” (HR. Bukhari no. 4837)
Jadi, maksud dari ibadurrahman adalah hamba-hamba spesial yang mewujudkan peribadatan kepada Allah ﷻ. As-Sa’di menafsirkan bahwa kata عِبَادُ diidhafahkan kepada الرَّحْمَنِ (Yang Maha Penyayang) bukan kepada الله, sehingga menjadi عِبَادُ الرَّحْمَنِ, sebagai isyarat bahwasanya mereka ini bisa menjadi hamba-hamba Allah lantaran kasih sayang Allah (Tafsir As-Sa’di 1/586) Allah ﷻ berfirman,
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
“Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nur: 21)
Jika seseorang sadar bahwa dia ternyata mampu mewujudkan ‘ubudiyahnya kepada Allah pada saat puasa, shalat, membaca Al-Quran ataupun bersedekah, maka sejatinya karunia dari Allah ﷻ, bentuk kasih sayang Allah kepadanya dan termasuk hamba-hamba yang mendapatkan rahmat dari Allah ﷻ. Di antara sifat-sifat ibadurrahman yang terdapat pada ayat ini adalah:
Apabila mereka berjalan, maka mereka berjalan dengan lembut tanpa ada kesombongan sama sekali
Allah ﷻ berfirman,
الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا
“Adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati.” (QS. Al-Furqan: 63)
1. Sifat pertama ibadurrahman adalah apabila mereka berjalan, maka mereka berjalan dengan lembut tanpa ada kesombongan sama sekali.
Para ahli tafsir menafsirkan bahwa apabila mereka berjalan, maka mereka berjalan dengan tawadhu’(Tafsir Al-Qurthubi 13/68), bukan dengan sombong dan angkuh. Tawadhu’ adalah akhlak yang mulia. Seseorang yang berjalan dengan kesombongan, menunjukkan bahwa apa yang ada di dalam dadanya lebih buruk dari apa yang dia tampakkan. Kesombongan bisa terlihat dengan berbagai bentuk, di antaranya dengan berjalan. Maka dari itulah, Allah ﷻ berfirman,
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا
“Dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh.” (QS. Luqman: 18)
Dengan berjalan saja, seseorang bisa terlihat sikapnya yang sombong ataupun tidak, terutama pada zaman dahulu. Pada zaman sekarang, mungkin hal itu jarang dijumpai, karena kebanyakan orang berjalan menaiki kendaraan, baik mobil, motor atau kendaraan yang lain. Namun, terkadang sikap sombong mereka bisa terlihat dari tulisan, tutur kata, ceramah, mimik/raut wajah atau sikap-sikap yang lain, yang sejatinya menunjukkan akan kesombongannya.
Pada ayat ini disebutkan يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ ‘di atas muka bumi’ maksudnya adalah ketika bermuamalah(At-Tahriir wa At-Tanwiir Li Ibnu ‘Asyur 19/68).
Karena tidak ada tempat lain untuk melakukan muamalah, melainkan di atas muka bumi ini. Seakan-akan Allah mengatakan, “Jika mereka bermuamalah dengan orang lain, maka muamalah mereka jauh dari kesombongan, baik dari tutur kata, senyuman ataupun sikapnya, menunjukkan kelembutan”. Maka dari itu, apabila seseorang memiliki sifat sombong, maka sejatinya dia telah keluar dari sifat-sifat ibadurrahman, meskipun dia rajin shalat, bersedekah dan tidak berbuat kesyirikan.
Apabila ada orang-orang jahil datang kepada mereka untuk mencela atau mencerca, maka mereka berlalu tidak menghiraukannya
Allah ﷻ berfirman,
وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan “salam”.” (QS. Al-Furqan: 63)
2. Sifat kedua ibadurrahman adalah apabila ada orang-orang jahil datang kepada mereka untuk mencela atau mencerca, maka mereka berlalu dan tidak menggubrisnya.
Meskipun mereka hendak menjawabnya, maka mereka menjawab dengan jawaban yang tenang, mendatangkan keselamatan dan tidak menimbulkan keributan(Tafsir Ibnu Katsir 6/122). Intinya, ketika mereka bersikap dengan orang lain, yang menjadi perhatian mereka adalah bagaimana sikap yang harus mereka lakukan untuk mendatangkan keridaan Allah ﷻ, bukan untuk memuaskan hawa nafsu mereka sendiri. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ
“Jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
Pada zaman sekarang ini, khususnya ketika banyak orang bermedia sosial. Terkadang seseorang mendapati orang lain yang menjelek-jelekkannya atau mencelanya, sehingga dia tidak mampu untuk menahan amarahnya. Akibatnya, untuk membantahnya dia harus membalas dendam dan melampiaskan kemarahannya dengan mengumpulkan banyak orang atau menyelesaikan masalahnya di depan umum. Seakan-akan dia memiliki sikap tidak ingin diusik sedikitpun oleh orang lain. Padahal banyak dari kalangan para nabi yang diusik, para ulama juga banyak yang diusik.
Adapun ibadurrahman apabila diusik oleh orang-orang jahil berupa perbuatan maupun perkataan, maka mereka berlalu dan menanggapi dengan jawaban secukupnya. Karena, sejatinya mereka mencari keridaan Allah ﷻ, bukan untuk menunjukkan sikap ingin menang sendiri di depan umum. Mereka tahu bahwa tindakan kebodohan yang dilontarkan orang-orang jahil kepada mereka, tidak harus ditanggapi dengan kebodohan pula, namun mereka cukup menanggapinya dengan kebaikan.
Sifat seperti inilah yang diperlukan oleh setiap muslim, terutama di zaman sekarang ini. Karena orang yang jahil jumlahnya tidak sedikit, bahkan terkadang setiap orang terjerumus di dalam kejahilan. Di media sosial pun banyak orang yang jahil dan tidak paham dengan etika. Oleh karenanya, tidak semua kejahilan atau gangguan dari orang lain, harus dibalas dengan hal yang serupa. Sebagaimana disebutkan di dalam pepatah “Anjing menggonggong kafilah berlalu”. Gangguan tersebut bisa dibalas dengan kata-kata yang bijak dan tidak harus dibalas dengan celaan yang serupa atau membongkar aib atau hal yang semisalnya. Karena yang dicari adalah keridaan Allah ﷻ, bukan keridaan manusia.
Demikianlah, sifat ibadurrahman ketika mereka bermuamalah dengan orang-orang. Apabila berhadapan dengan orang baik, maka mereka juga bersikap baik. Bahkan, apabila mereka menghadapi orang-orang yang buruk, maka mereka menghadapinya dengan sikap yang baik pula.
3. Mendirikan shalat pada malam hari/sepertiga malam
Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا
“Dan orang-orang yang menghabiskan waktu malam untuk beribadah kepada Tuhan mereka dengan bersujud dan berdiri.” (QS. Al-Furqan: 64)
Sifat ketiga ibadurrahman adalah mereka mendirikan shalat pada malam hari([10]). Itulah kondisi mereka pada malam hari, mereka menghabiskan malam mereka untuk beribadah kepada Allah ﷻ, mendirikan shalat, memperbanyak sujud, memohon kepada Allah ﷻ. Di siang hari mereka melakukan akhlak yang mulia, sedangkan di malam hari mereka menghabiskan waktunya untuk Rabb mereka. Tentunya, hal ini menunjukkan mereka sangat perhatian terhadap amalan shalat malam.
Maka dari itu, syarat yang harus diperhatikan bagi setiap orang muslim yang ingin menjadi ibadurrahman adalah hendaknya mendirikan shalat malam. Pada waktu malam dia harus memiliki sebagian waktunya untuk mendirikan shalat. Untuk menjadi ibadurrahman, tidak cukup dengan akhlak mulia saja, akan tetapi dia harus memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat ibadurrahman yang lainnya, dan di antaranya adalah dengan mendirikan shalat tahajud pada malam hari.
Rasulullah ﷺbersabda,
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ
“Hendaklah kalian shalat malam, karena sesungguhnya itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian.”
(HR. Tirmidzi no. 3549, Al-Hakim no. 1156, Al-Baihaqi no. 4317 di dalam As-Sunan Al-Kubra, Ath-Thabrani no. 7466 di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, hadis di sahihkan oleh Al-Hakim dan dihasankan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-Ghalil no. 452 2/200.)
Apalagi di saat seorang muslim berada pada bulan Ramadan, ditambah lagi keadaan atau kondisi yang sangat mendukung untuk mengerjakannya, maka dia bisa mendirikan shalat tarawih, karena shalat tarawih juga termasuk shalat malam.
Apakah harus mengerjakan shalat malam hingga berjam-jam? Seorang muslim tidak diharuskan mengerjakan shalat malam hingga berjam-jam lamanya. Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anha berkata,
مَنْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ بَعْدَ الْعِشَاءِ فَقَدْ بَاتَ لِلَّهِ سَاجِدًا وَقَائِمًا
“Barang siapa yang shalat (malam) dua rakaat atau lebih setelah shalat isya’, sungguh dia telah menghabiskan malamnya dalam keadaan sujud dan berdiri (beribadah) untuk Allah.”(Tafsir Al-Qurthubi 13/72)
Al-Kalbi ﷺjuga berkata,
مَنْ أَقَامَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَأَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ فَقَدْ بَاتَ سَاجِدًا وقَائِمًا
“Barang siapa yang mendirikan shalat dua rakaat setelah shalat maghrib dan empat rakaat setelah shalat isya’, sesungguhnya dia telah bermalam dalam keadaan sujud dan berdiri karena Allah.” (Tafsir Al-Qurthubi 13/72)
Kesimpulannya adalah bagi seorang muslim yang semakin banyak mengerjakan shalat malam, maka hal itu semakin baik. Tidak diharuskan baginya untuk mengerjakan shalat hingga dua atau tiga jam, paling tidak dia berusaha meluangkan waktunya untuk mengerjakan shalat witir, misalnya mengerjakannya sebanyak tiga rakaat atau kurang lebih seperempat jam untuk Allah setiap harinya, seandainya dia mengerjakan lebih dari itu, maka hal itu lebih baik. Jangan sampai dia melewati malam-malamnya tanpa sujud kepada Allah ﷻ sama sekali. Tujuannya adalah agar dia termasuk golongan ibadurrahman.
4. Mereka takut kepada siksaan Allah ﷻ
Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا. إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا
“Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami, karena sesungguhnya azabnya itu membuat kebinasaan yang kekal. Sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.” (QS. Al-Furqan: 65-66)
Adapun sifat keempat ibadurrahman adalah mereka takut kepada siksaan Allah (Tafsir Al-Qurthubi 13/72) Ini adalah hal yang menakjubkan. Di siang hari mereka beramal dengan akhlak yang mulia, di malam hari menghabiskan waktunya dengan beribadah kepada Allah ﷻ, namun dengan hal itu mereka tidak merasa ‘ujub atau yakin akan masuk surga. Justru, mereka semakin takut kepada Allah ﷻ. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
إِنَّما يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبادِهِ الْعُلَماء
“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.” (QS. Fatir: 28)
Semakin mereka mengenal Rabb mereka, maka mereka semakin takut kepada Allah ﷻ. Sehingga mereka berdoa,
رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
“Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab Jahanam dari kami, karena sesungguhnya azabnya itu membuat kebinasaan yang kekal.”
Sebagian ulama menjelaskan bahwa maksud dari غَرَامًا adalah ‘melazimi’, artinya seseorang jika sudah tertimpa azab neraka, maka dia tidak akan terlepas dari azab itu, dan tidak akan berhenti dari azab tersebut. Sedangkan, sebagian yang lain menjelaskan bahwa maksudnya adalah أَشَدُّ الْعَذَابِ ‘keras’(Tafsir Al-Qurthubi 13/72). Ibadurrahman sangat takut dari azab neraka Jahanam, karena jika tertimpa azab tersebut, maka tidak akan lepas darinya. itulah gambaran penderitaan azab neraka Jahanam. Seperti keadaan seseorang yang tertimpa suatu penyakit, maka dia akan menderita, akan tetapi ketika penyakitnya sembuh, maka penderitaannya pun menghilang. Berbeda dengan azab neraka Jahanam yang penderitaannya tidak akan berhenti.
Di antara doa yang mereka panjatkan adalah,
إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا
“Sungguh, Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.”
Thahir Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa مُسْتَقَرًّا ‘tempat menetap’ yang waktunya tidak selamanya, seperti ahli tauhid yang melakukan kemaksiatan, lalu dosa mereka lebih banyak dari pada kebaikan mereka, maka mereka kelak akan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam مُسْتَقَرًّا ‘tempat menetap, namun tidak selamanya. Sedangkan مُقَامًا ‘tempat kediaman selama-lamanya’. Namun, bagaimanapun keadaan neraka Jahanam, baik مُسْتَقَرًّا atau مُقَامًا, keduanya adalah tempat yang penuh dengan penderitaan(At-Tahriir wa At-Tanwiir Li Ibnu ‘Asyur 19/71). Olah karenanya, di antara doa yang dipanjatkan oleh ibadurrahman adalah berlindung dari siksa neraka Jahanam.
5. Mereka menginfakkan hartanya untuk keluarga dan kerabat mereka
Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.” (QS. Al-Furqan: 67)
Sifat yang kelima adalah berkaitan dengan menginfakan hartanya untuk keluarga dan kerabat mereka(At-Tahriir wa At-Tanwiir Li Ibnu ‘Asyur 19/71).
Para ulama menjelaskan bahwa maksud dari infak yang disebutkan pada ayat tersebut adalah infak yang berkaitan dengan perkara-perkara mubah (mubahat)(Tafsir Al-Qurthubi 13/73) atau yang disunahkan, bukan kewajiban([3]), atau hal yang diharamkan.
Artinya adalah bagaimanapun caranya agar seseorang mampu mengatur hartanya untuk keluarganya, untuk perkara yang disunahkan seperti sedekah ataupun untuk hal-hal yang mubah. Apabila dia mengeluarkan hartanya untuk sedekah, maka dia tidak berlebih-lebihan hingga mengorbankan hak sebagian orang.
Misalnya jika ada seseorang menginfakkan semua hartanya tanpa menyisakan sedikitpun, sehingga membiarkan keluarganya dan kerabatnya terbengkalai, atau dia menggunakan semua hartanya untuk berdakwah, atau membelanjakan semua hartanya untuk memenuhi apa saja yang dia inginkan, atau dengan harga yang paling mahal, sehingga dia menggunakan hartanya pada hal-hal yang tidak bermanfaat, maka yang demikian ini tidak diperbolehkan dan bukan termasuk sifat ibadurrahman.
Akan tetapi, hendaknya dia bersikap pertengahan antara tidak berlebih-lebihan (mubazir) dan tidak pelit, yaitu sedang-sedang(Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 6/124). Di samping dia menggunakan hartanya untuk bersedekah, dia juga menggunakan hartanya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban atau keperluan mubahat yang lain, seperti membeli pakaian atau makanan tanpa disertai pemborosan dan tidak terlalu pelit.
Penulis mengingatkan kepada orang-orang yang diberikan kelebihan harta, bahwa di antara sifat ibadurrahman adalah tidak membelanjakan harta mereka dengan berlebih-lebihan. Jangan sampai karena rasa sayang yang berlebihan kepada seorang istri, menuruti semua permintaannya hingga membelikan barang-barang dengan harga yang sangat tinggi dan mahal untuknya. Meskipun ini tidak diharamkan, akan tetapi yang demikian itu bukanlah sifat ibadurrahman.
لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا
“Mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir.”
Hendaknya dia bersikap tidak berlebih-lebihan dan tidak pelit, sehingga keluarga dan kerabatnya mengetahui bahwa dirinya bukanlah orang yang suka bersikap berlebih-lebihan ataupun pelit. Dibolehkan untuk membeli barang atau benda yang bagus sekalipun, akan tetapi tidak harus yang paling mahal dan tidak juga yang paling murah.
وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Di antara keduanya secara wajar.”
Hendaknya tidak mengikuti perkataan manusia, apalagi terbawa dengan komunitas orang-orang yang berlebihan. Perbuatan mereka yang berlebih-lebihan itu hanya mengeluarkan seseorang dari sifat ibadurrahman. Ketika seseorang bersedekah pun hendaknya dia tidak berlebih-lebihan, sehingga mengakibatkan sebagian hak tidak terpenuhi, yang demikian ini tidak perbolehkan.
Berdasarkan perbuatan Ka’b bin Malik radhiallahu’anhu ketika hendak bersedekah dengan semua hartanya, maka Nabi ﷺ melarangnya. Sebaliknya, ketika Abu Bakr radhiallahu’anhu bersedekah dengan seluruh hartanya, maka Nabi ﷺ membolehkannya, karena Nabi ﷺ mengetahui bahwa Abu Bakr adalah orang yang bisa bertanggung jawab, memiliki iman yang kuat dan mampu menjalankan kewajibannya. Artinya selama seseorang tidak melalaikan kewajibannya yang lain, maka tidak mengapa baginya untuk mengeluarkan sedekah dalam jumlah yang banyak.
Ayat ini juga memberikan peringatan kepada setiap orang agar tidak pelit kepada keluarganya(Tafsir Al-Qurthubi 13/73-74). Karena jika dia memiliki harta, maka orang pertama yang dia bahagiakan adalah keluarganya. Banyak orang yang terlalu perhitungan dengan keluarganya.
6. Mereka menghindari dosa-dosa besar
Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat.” (QS. Al-Furqan: 69)
Sifat yang keenam adalah mereka menjauh dari dosa-dosa besar. Para ulama menyebutkan bahwa sifat-sifat yang disebutkan pada ayat-ayat sebelumnya adalah تَحْلِيَة ‘sifat-sifat yang mulia’. Sedangkan, pada ayat ini adalah تَخْلِيَة ‘meninggalkan sifat-sifat yang buruk atau dosa-dosa’( At-Tahriir wa At-Tanwiir Li Ibnu ‘Asyur 19/67).
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.”
Mereka tidak pernah berbuat syirik, tidak pernah berdoa kepada selain Allah ﷻ, tidak pernah meminta kepada jin, malaikat, kubur, para wali maupun mayat, tidak membunuh dan tidak berzina. Inilah tiga perkara yang termasuk ke dalam dosa-dosa besar. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, bahwa ketika Nabi ﷺdi tanya,
أَيُّ الذَّنْبِ عِنْدَ اللَّهِ أَكْبَرُ ؟ قَالَ: أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: ثُمَّ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: أَنْ تُزَانِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ
“’Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah?’ Beliau ﷺbersabda,’Engkau menjadikan tandingan bagi Allah, sementara Dia yang telah menciptakanmu’ aku berkata: ‘kemudian apa?’ beliau bersabda, ‘Engkau membunuh anakmu, karena takut miskin’, aku berkata, ‘kemudian apa?’ beliau bersabda, ‘Engkau berzina dengan istri tetanggamu’.”(HR. Bukhari no. 4761)
Inilah dosa-dosa besar, sedangkan ibadurrahman bersih dari dosa-dosa tersebut.
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat.”
أَثَامًا ‘dosa’, sebagian ulama menafsirkan bahwa أَثَامًا adalah lembah-lembah di neraka, yang menjadi tempat penyiksaan. Allah ﷻ berfirman,
سَأُرْهِقُهُ صَعُودًا
“Aku akan membebaninya dengan pendakian yang memayahkan.” (QS. Al-Muddassir: 17)
Allah ﷻ berfirman,
يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا
“(Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” (QS. Al-Furqan: 69)
Penghuni neraka Jahanam ketika diazab, maka mereka meminta agar segera mati. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
وَنَادَوْا يَامَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُمْ مَاكِثُونَ
“Dan mereka berseru, “Wahai (Malaikat) Malik! Biarlah Tuhanmu mematikan kami saja.” Dia menjawab, “Sungguh, kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” (QS. Az-Zukhruf: 77)
Ketika mereka tidak berhasil meminta agar dimatikan, maka mereka meminta agar diringankan azab bagi mereka. Allah ﷻ berfirman,
وَقَالَ الَّذِينَ فِي النَّارِ لِخَزَنَةِ جَهَنَّمَ ادْعُوا رَبَّكُمْ يُخَفِّفْ عَنَّا يَوْمًا مِنَ الْعَذَابِ
“Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka Jahanam, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu agar Dia meringankan azab atas kami sehari saja.” (QS. Ghafir: 49)
Namun, mereka tidak diberikan keringanan sedikitpun. Bahkan, yang mereka dapatkan adalah firman Allah ﷻ,
فَذُوقُوا فَلَنْ نَزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا
“Maka karena itu rasakanlah! Maka tidak ada yang akan Kami tambahkan kepadamu selain azab.” (QS. An-Naba’: 30)
Orang yang berada di neraka Jahanam mendapatkan azab yang berlipat-lipat dan tidak dikurangi sedikitpun, apalagi dimatikan, karena mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا
“Dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.”
Thahir Ibnu ‘Asyur di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa إِهَانَة ‘penghinaan’ berbeda dengan azab. Penghuni neraka di dalam neraka mendapatkan dua siksaan.
- Pertama, mereka diazab dan dibakar di dalam neraka Jahanam dengan berbagai siksaan.
- Kedua, mereka dihinakan, baik dengan cacian, ejekan dan dipermalukan oleh Allah ﷻ.([8]) Dari itu, terkumpullah kepada mereka dua siksaan, yaitu siksaan fisik dan batin.
Di antara siksaan batin yang dirasakan oleh penghuni neraka adalah mereka diperlihatkan tentang kenikmatan dan kesenangan yang dirasakan oleh penghuni surga, sedangkan mereka dalam keadaan tersiksa, lapar, haus dengan penuh penderitaan dan penyesalan ‘kenapa dahulu mereka tidak beramal saleh’.
Di antara siksaan batin juga adalah mereka melihat sesembahan-sesembahan mereka juga berada di neraka Jahanam.
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ
“Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah bahan bakar Jahanam.” (QS. Al-Anbiya’: 98)
Mereka melihat patung, berhala, batu dan setan yang mereka sembah berada di neraka Jahanam. Ini adalah di antara bentuk penyiksaan. Mereka juga bertemu dengan orang-orang yang mengaku bisa menolong mereka, ternyata mereka semua disiksa di neraka Jahanam, ini semua menunjukkan siksaan batin yang mereka rasakan.
Allah ﷻ berfirman,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Kecuali orang-orang yang bertobat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70)
Orang yang bermaksiat mampu menjadi ibadurrahman dengan syarat bertaubat. Asalnya ibadurrahman tidak pernah membunuh, berbuat syirik ataupun berzina. Akan tetapi, telah banyak orang yang terjerumus di dalam kemaksiatan dan perzinaan karena banyaknya wasilah yang memudahkan orang-orang untuk lebih bebas melakukan kemaksiatan tersebut. Dengan tobat yang benar, maka seseorang yang sebelumnya berbuat dosa akibat kemaksiatan yang dilakukannya bisa menjadi ibadurrahman.
Terdapat khilaf di kalangan para ulama tentang keburukan yang digantikan dengan kebaikan.
- Pertama, merupakan pendapat yang kuat yaitu tatkala mereka bertobat di dunia, maka Allah merubah keburukan mereka menjadi kebaikan, artinya setelah mereka bertobat, yang seharusnya kebiasaan mereka selalu bermaksiat dan melakukan keburukan berubah menjadi kebiasan yang baik.
- Kedua, berdasarkan hadits yang tegas tentang hal ini menjelaskan bahwa perubahan itu ada di akhirat, yaitu keburukan-keburukan dan dosa-dosa yang dahulu pernah mereka lakukan di dunia berubah menjadi pahala-pahala kebaikan di akhirat, sehingga menambah timbangan amal kebaikannya dan menambah derajat mereka di surga(Tafsir Al-Qurthubi 13/78).
Ini merupakan bentuk kenikmatan yang luar biasa. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنِّي لَأَعْلَمُ آخِرَ أَهْلِ الْجَنَّةِ دُخُولًا الْجَنَّةَ، وَآخِرَ أَهْلِ النَّارِ خُرُوجًا مِنْهَا، رَجُلٌ يُؤْتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيُقَالُ: اعْرِضُوا عَلَيْهِ صِغَارَ ذُنُوبِهِ، وَارْفَعُوا عَنْهُ كِبَارَهَا، فَتُعْرَضُ عَلَيْهِ صِغَارُ ذُنُوبِهِ، فَيُقَالُ: عَمِلْتَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، وَعَمِلْتَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا، فَيَقُولُ: نَعَمْ، لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُنْكِرَ وَهُوَ مُشْفِقٌ مِنْ كِبَارِ ذُنُوبِهِ أَنْ تُعْرَضَ عَلَيْهِ، فَيُقَالُ لَهُ: فَإِنَّ لَكَ مَكَانَ كُلِّ سَيِّئَةٍ حَسَنَةً، فَيَقُولُ: رَبِّ، قَدْ عَمِلْتُ أَشْيَاءَ لَا أَرَاهَا هَا هُنَا ” فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحِكَ حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ،
“Sesungguhnya aku mengetahui penghuni surga paling terakhir yang masuk ke dalam surga dan penghuni neraka yang paling terakhir keluar dari neraka. Ada seseorang yang dihadirkan pada hari kiamat, lalu dikatakan (kepada malaikat), ‘Tampakkanlah dosa-dosa kecilnya, dan singkirkanlah dosa-dosa besarnya, maka ditampakkanlah dosa-dosa kecilnya’, lalu dikatakan, ‘(Apakah) kau pernah melakukan demikian pada hari itu dan itu dan melakukan demikian pada hari itu dan itu?’ lalu dia menjawab, ‘Iya’ dia tidak mampu mengingkarinya, sedangkan dia khawatir akan ditampakkan dosa-dosanya yang besar, maka dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya setiap dosa yang kau lakukan menempati timbangan kebaikanmu’ lalu dia berkata, ‘Wahai Rabb, aku telah melakukan banyak kemaksiatan yang aku tidak melihatnya di sini’, sungguh aku melihat Rasulullah ﷺ tertawa hingga tampak gigi geraham beliau.”(HR. Muslim no. 190)
Menurut lahir ayat dan hadits di atas menjelaskan bahwa di akhirat kelak ada orang-orang yang melihat amalan taubat mereka, yaitu amalan-amalan maksiat dan keburukan yang telah mereka lakukan akan diletakkan di timbangan kebajikan, untuk memperberat amalan kebajikan, sehingga membuat derajat mereka semakin tinggi di sisi Allah ﷻ.
Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا
“Dan barangsiapa bertobat dan mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Furqan: 71)
Lafal مَتَابًا ‘tobat yang sebenarnya’ merupakan bentuk mashdar yang berfungsi sebagai penekanan, artinya mereka sungguh-sungguh dalam bertobat kepada Allah ﷻ.[Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 13/79]) Yang disebut tobat sesungguhnya bukan hanya sekedar perkataan saja, akan tetapi harus disertai bukti, yaitu bertobat dan beramal saleh.
Sebagian orang mengatakan ‘saya telah bertobat’, akan tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dia bersungguh-sungguh di dalam tobatnya. Mulutnya berucap, namun hatinya tidak menyertai apa yang telah diucapkan oleh mulutnya. Sikapnya juga tidak menyertai pengakuannya. Tobat yang sungguh-sungguh adalah tobat yang disertai dengan amal saleh. Maka dari itu, Allah ﷻ berfirman,
7. Mereka tidak memberikan persaksian batil
Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)
Sifat ibadurrahman yang ketujuh adalah mereka tidak memberikan persaksian batil. Allah ﷻ tidak menyebutkan,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ بِالزُّور
“Dan orang-orang yang tidak bersaksi dengan kesaksian palsu.”
Akan tetapi, Allah ﷻ menyebutkan,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
“Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.”
Oleh karenanya, para ulama menafsirkan الزُّورَ adalah hari-hari perayaan orang-orang kafir. Artinya mereka tidak menghadiri hari perayaan orang-orang kafir. Sebagian dari mereka ada yang menafsirkan dengan الْغِنَاء ‘musik atau nyanyian’, artinya mereka tidak menghadiri acara-acara musik. Jadi, الزُّورَ maknanya tidak sekedar dusta, akan tetapi kebatilan secara umum(Tafsir Al-Qurthubi 13/79). Bahkan, Ibnu Taimiyah ﷺmengatakan bahwa الزُّورَ adalah sesuatu yang dihiasi, sehingga sesuatu yang batil terlihat seperti sesuatu yang baik([13]). Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ
“Orang yang bergaya dengan sesuatu yang tidak dimilikinya, maka seakan-akan dia memakai dua pakaian kedustaan.” ([14])
Seperti halnya perayaan-perayaan orang-orang kafir, seakan-akan adalah sesuatu yang benar, padahal sejatinya adalah sesuatu yang batil berupa kesyirikan. Begitu pun perayaan yang sekan-akan terlihat bagus, namun ternyata perbuatan tersebut adalah bentuk mengikuti hawa nafsu.
Adapun ibadurrahman adalah orang-orang yang tidak pernah mengikuti dan menghadiri acara-acara yang sejenis itu, baik yang berkaitan dengan syubhat atau syahwat yang sudah dihiasi. Maka dari itu, jika seorang muslim ingin menjadi ibadurrahman, maka hendaknya dia tidak menghadiri hari-hari perayaan orang kafir atau yang sejenisnya, apalagi menyetujuinya atau ikut meramaikannya. Apabila dia mengikuti acara tersebut, maka dia telah keluar dari sifat-sifat ibadurrahman dan hendaknya dia segera bertobat kepada Allah ﷻ.
8. Mereka tidak melakukan perkara-perkara yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya di dunia dan akhirat
Allah ﷻ berfirman,
وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)
Sifat yang kedelapan adalah sifat yang sangat penting di zaman sekarang ini, yaitu mereka tidak melakukan perkara-perkara yang sia-sia dan tidak ada manfaatnya di dunia dan akhirat([15]). Apabila melewati hal itu, maka mereka berlalu begitu saja. Betapa banyak sekarang terdapat majlis yang sia-sia di media sosial, terutama di gadget, ribuan orang mengikutinya, akan tetapi sia-sia tanpa faedah di dalamnya. Pada zaman dahulu banyak ditemukan majlis-majlis atau tempat untuk bercengkerama hal yang tidak bermanfaat di pinggir jalan. Bagi ibadurrahman apabila mendapati hal itu, maka mereka berlalu begitu saja dan tidak menghampirinya.
Maka dari itu, bagi setiap muslim hendaknya menghindari majlis-majis yang tidak berguna dan tidak mendatangkan manfaat baginya, karena majlis yang sia-sia ini sangat banyak di zaman sekarang ini. Dia tidak akan mendapatkan pahala dari majlis tersebut. Apalagi majlis-majlis yang tidak berfaedah yang ada di gadget, apabila dia memasuki majlis tersebut, maka sejatinya dia tidak berdosa, akan tetapi dia telah keluar dari sifat-sifat ibadurrahman.
9. Ketika mendengar ayat-ayat Allah ﷻ, maka mereka memperhatikannya
Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidak bersikap sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73)
Sifat ibadurrahman yang kesembilan adalah ketika mereka mendengar ayat-ayat Allah ﷻ dibacakan di hadapan mereka, maka mereka memperhatikannya([16]). Bukan seperti orang-orang yang berpaling, seakan-akan mereka tuli dan buta, sebagaimana orang-orang musyrikin Quraisy. Berbeda dengan ibadurrahman yaitu jika membaca atau dibacakan ayat-ayat Allah, maka mereka mentadabburinya.
10. Mereka memiliki perhatian kepada keluarganya
Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)
Sifat ibadurrahman yang kesepuluh adalah mereka memiliki perhatian kepada keluarganya. Selain memiliki perhatian terhadap kawan-kawannya, mereka juga memberikan perhatiannya kepada keluarganya. Saking perhatiannya mereka berdoa untuk keluarganya,
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Mereka berdoa agar istri dan anak mereka menjadi golongan orang-orang saleh. Ayat ini juga menjadi dalil bahwa ibadurrahman tidak egois, hanya memikirkan diri mereka sendiri. Sebagian orang memiliki banyak amalan saleh, namun dia tidak mempedulikan istri dan anaknya([17]). Adapun ibadurrahman selain mereka peduli terhadap dirinya sendiri, mereka juga memiliki kepedulian terhadap istri dan anaknya, terutama melalui doa, karena mereka memahami bahwa mereka memiliki kewajiban terhadap keluarganya.
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa termasuk kelazimannya adalah memberikan pendidikan dan bimbingan kepada istri dan anak-anaknya, tidak dibiarkan tanpa arahan begitu saja([18]). Adapun seperti memberikan kemewahan dan menuruti segala keinginan keluarganya tanpa arahan sedikitpun, maka hal itu bukanlah termasuk sifat ibadurrahman.
وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ini merupakan doa yang sangat tinggi, mereka meminta agar dijadikan teladan. Untuk menjadi teladan adalah sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah,
بِالصَّبْرِ وَالْيَقِينِ تُنَالُ الْإِمَامَةُ فِي الدِّينِ
“Dengan sabar dan yakin, dapat diraih kepemimpinan dalam beragama.”([19])
Artinya, Ya Allah anugerahkanlah kepada kami kesabaran dan keyakinan agar kami bisa menjadi teladan kepada orang-orang yang bertakwa.
Balasan atau Reward bagi Ibbadurrhman
Allah ﷻ berfirman,
أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا
“Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka, dan di sana mereka akan disambut dengan penghormatan dan salam.” (QS. Al-Furqan: 75)
Sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat ini berkedudukan sebagai khabar, sedangkan mubtadanya adalah ayat sebelumnya yang berbunyi وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ. Artinya seakan-akan Allah ﷻ berfirman bahwa “Hamba-hamba Allah adalah mereka yang diberikan tempat tinggi di dalam surga karena kesabaran mereka”.
Di antara sebab utama mereka masuk ke dalam surga adalah dengan kesabaran. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwasanya semua sifat-sifat yang telah mereka amalkan dari sifat yang pertama hingga yang terakhir, mereka melakukannya dengan penuh kesabaran([20]). Untuk mengamalkan semua sifat tersebut juga membutuhkan kesabaran. Sabar dalam banyak hal, baik sabar dalam meninggalkan kemaksiatan, sabar dalam beribadah, sabar dalam menasihati keluarga, sabar dalam mengatur keuangan keluarga, sabar dalam menghadapi orang-orang jahil dan sabar dalam hal yang lainnya.
وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا
“Dan di sana mereka akan disambut dengan penghormatan dan salam.”
Tatkala mereka di dunia mungkin dihina oleh orang-orang jahil, namun mereka hanya berlalu atau mengucapkan perkataan yang penuh keselamatan. Namun, ketika di akhirat Allah ﷻ dan para malaikat menyambut mereka تَحِيَّةً وَسَلَامًا ‘dengan penghormatan dan salam’.([21])
Allah ﷻ berfirman,
خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا
“Mereka kekal di dalamnya. Surga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.” (QS. Al-Furqan: 76)
Seandainya penghuni surga menetap di surga sebentar saja, maka mereka sudah berada di dalam puncak kenikmatan, sebagaimana di sebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً، ثُمَّ يُقَالُ: يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لَا، وَاللهِ يَا رَبِّ وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا، مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ، فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُولُ: لَا، وَاللهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ، وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ
“Pada hari kiamat akan didatangkan seorang yang paling bahagia di dunia yang menjadi penghuni neraka, lalu dicelupkan ke dalam neraka dengan satu celupan, kemudian dikatakan, ‘Wahai anak Adam, apakah kau melihat kebaikan meskipun sedikit? Apakah kau merasakan kenikmatan walaupun sedikit?’ lalu dia menjawab, ‘Demi Allah, tidak’. Didatangkan seorang yang paling sengsara di dunia yang menjadi penghuni surga, lalu dicelupkan ke dalam surga dalam satu celupan, lalu dikatakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kau melihat kesusahan walaupun sedikit? Apakah kau merasakan kesusahan walaupun sedikit?’ lalu dia berkata, ‘Tidak, demi Allah wahai Rabb, aku tidak mengalami kesusahan sedikitpun dan tidak melihat kesulitan sedikitpun.” ([22])
Menurut hadits di atas, apabila seorang penghuni surga dicelupkan ke dalam surga dengan satu celupan saja, maka dia akan lupa dengan semua keburukan dan kesusahan, karena di dalam surga terdapat kenikmatan yang luar biasa, hingga dapat melupakan segala kesusahan yang pernah di rasakan. Kenikmatan yang disebutkan di dalam hadits adalah kenikmatan yang مُسْتَقَرًّا ‘menetap’ maksudnya sebentar saja. Apalagi, jika kenikmatan tersebut adalah مُقَامًا ‘tempat kediaman’ maksudnya selama-lamanya. Itulah balasan mereka di akhirat kelak.
Allah ﷻ berfirman,
قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُونُ لِزَامًا
“Katakanlah (Muhammad, kepada orang-orang musyrik), “Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu, kalau tidak karena ibadahmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal sungguh, kamu telah mendustakan-Nya? Karena itu, kelak (azab) pasti (menimpamu).” (QS. Al-Furqan: 77)
Allah ﷻ memerintahkan kepada Nabi ﷺuntuk memberikan peringatan kepada orang-orang musyrik, “Jika kalian bertobat dan beribadah kepada Allah, maka Allah mempedulikan kepada kalian. Akan tetapi, jika kalian tidak beribadah, maka Allah tidak akan peduli kepada kalian, bahkan Allah akan mengazab kalian degan azab yang senantiasa menempel dan tidak bisa lepas dari kalian”.
Wallahu'alam (/oh)
disadur dari : https://bekalislam.firanda.com/
Komentar