Indikasi Ibadah Puasa Diterima Allah SWT



Bissmillaahirrohmaanirrohiim 

Setiap diri dari kita semua pasti berharap semua ibadah yang dilakukan di bulan Ramadan diterima oleh Allah, mulai dari puasa, shalat, sedekah, bacaan Alquran dan lain sebagainya. Hal ini karena hanya dengan diterimanya ibadah tersebut, maka kita akan mendapatkan pahala, kebaikan dan ampunan dari Allah.

Hanya saja tidak ada satu pun dari kita yang dapat memastikan bahwa sebuah ibadah ditolak atau diterima oleh Allah, baik ibadah diri sendiri maupun ibadah orang lain. Sebuah ibadah ditolak atau diterima merupakan rahasia Allah karena hanya Dia yang berhak menentukan ibadah diterima atau tidak. Kita hanya dapat melihat tanda-tanda penerimaan Allah atas ibadah kita.

Di antara tanda bahwa ibadah kita di bulan Ramadan diterima oleh Allah adalah ketika kita tetap istiqamah melakukan ibadah tersebut setelah bulan Ramadan selesai. Kita tetap istiqamah melanjutkan puasa sunah di bulan Syawal, qiyamul lail, membaca Alquran dan sedekah setelah bulan Ramadan. Hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Rajab Al-Hanbali:

أن معاودة الصيام بعد صيام رمضان علامة على قبول صوم رمضان فإن الله إذا تقبل عمل عبد وفقه لعمل صالح بعده

“Membiasakan puasa setelah puasa Ramadan merupakan tanda diterimanya amal puasa di bulan Ramadan. Sesungguhnya Allah jika menerima suatu amal dari seorang hamba, maka Allah memberinya taufik untuk melakukan amal soleh setelahnya.”

Nabi Saw. sendiri mengajarkan keistiqamahan dalam melakukan ibadah meskipun ibadah tersebut sedikit. Dalam sebuah hadis riwayat imam Muslim dari Sayyidah Aisyah, dia berkata bahwa Nabi Saw. bersabda;

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ


”Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinyu walaupun itu sedikit.”

Juga di antara tanda ibadah puasa dan ibadah yang lain selama bulan Ramadan diterima oleh Allah adalah ketika akhlak dan budi pekerti kita kepada orang lain menjadi lebih baik.

Setelah bulan Ramadan kita tetap tidak suka berbuat dusta dan ghibah, bahkan tidak sedikit pun terbersit di hati kita untuk berburuk sangka kepada orang lain. Ketika ibadah tertentu diterima oleh Allah, maka segera akan membuahkan kebaikan bagi pelakunya. Mengenai hal ini Syaikh Ibnu Athaillah pernah berkata;

من وجد ثمرة عمله عاجلاً فهو دليل على وجود القبول

“Siapa yang segera memetik buah dari amalnya, maka itu menunjukkan amalnya telah diterima.”

Nasrunminallohwafathunqoorib wabassirilmukminin
 
 Wallahu 'alam (oh)



 
 

Bahagia Bersama Keluarga



Bahagia Bersama Keluarga

Keluarga merupakan tatanan terkecil dalam struktur organisasi. Terdiri dari seorang Ayah, Ibu dan anggota keluarga.

Keluarga dipimpin oleh seorang kepala keluarga yang bertindak sebagai manajer tertinggi untuk membina dan mengarahkan keluarga atau nakhoda dalam ibarat sebuah pelayaran.

Keluarga terbentuk oleh ikatan pernikahan, secara umum terbentuk pula oleh ikatan nasab/ keturunan.

Pembentukan keluarga baru secara budaya akan terjadi akulturasi, dimana anggota keluarga masing masing akan membawa budaya masing masing keluarga.

Dalam keluarga baru alangkah baiknya jika akulturasi tidak seratus persen, namun hanya setengahnya, setengahnya lagi adalah kebudayaan baru yang dibentuk oleh keluarga tersebut.

Teknis pembentukan budaya tersebut dapat disimulasikan seperti berikut. Seorang ayah dan ibu baru dalam sebuah keluarga coba bawalah budaya masing masing di keluarga asal sebanyak 25% sehingga menjadi 50%, untuk 50% nya dibangun oleh mereka berdua. 

Kebahagiaan sebuah keluarga tentu relatif, tidak ada patokan yang pasti, keberadaan harta mungkin, tapi tidak selalu harta menjadi ukuran. 

Dalam Islam dibsebutkan ciri ciri keluarga bahagia itu sbb.:

Pertama adalah istri yang shalehah.
 
Dalam memilih calon istri, jangan hanya dilihat dari kecantikannya semata. Karena kecantikan tidak dapat menjamin kebahagiaan rumah tangga. ”Tetapi pilihlah wanita yang taat beragama. Insyaallah, kebahagiaan akan kita dapatkan.

Yang kedua adalah pasangan yang memiliki anak shaleh. 

Dalam membentuk anak shaleh, saat ini bukan perkara mudah. Membutuhkan energi, pikiran, usaha, dan biaya maupun doa yang cukup dari orang tua. Karena saat ini, lingkungan sekitar anak telah dicemari oleh polusi teknologi dan arus globalisasi yang menggerus nilai-nilai agama, moral dan kearifan sosial.

Ketiga diperlukan teman dan lingkungan yang alim. 

Pengaruh lingkungan, sangat besar dan dominan dalam menciptakan kebahagiaan rumah tangga. ”Bila kita tidak jeli memilih lingkungan atau teman, maka kita akan mudah terpengaruh dengan gaya hidup yang materialistis dan hedonisme,”.

Seringkali kita salah menilai orang, karena hanya dinilai dari harta dan jabatannya yang tinggi. Sementara mereka yang alim, tetapi tidak memiliki kelebihan harta cenderung diabaikan. ”Sesungguhnya Allah swt melihat hati dan amal kita,”.

Terakhir, adalah memiliki pekerjaan yang baik.

Seorang suami, harus memiliki pekerjaan (penghasilan) yang baik. ”Tapi payakan untuk bekerja tidak jauh dari tempat tinggal.

Semoga keluarga kita menjadi keluarga yang bahagia di dunia dan di akhirat.

Wallahu 'alam. (oh)







Meraih Bahagia dengan Sabar & Syukur

Meraih Surga dengan Sabar dan Syukur

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan kenikmatan yang tak terhingga untuk kita semua, semenjak kita lahir sampai saat sekarang ini nikmat Allah tidak ada henti-hentinya Dia berikan kepada kita.
 
Di antara nikmat Allah yang paling besar yang harus kita syukuri adalah nikmat Islam dan iman. Keislaman dan keimanan adalah sebesar-besarnya jalan yang mengantarkan seseorang berbahagia hidup di dunia terlebih lagi di akhirat. 

Berbeda dengan orang-orang yang ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka terancam dengan kekal di adzab di neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ، يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ؛ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
 
Demi Allah, tidaklah seorang pun dari umat ini, entah itu Yahudi atau Nasrani, yang mendengar tentang diriku, lalu ia mati dalam keadaan belum beriman dengan risalahku, melainkan ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim)
 
Oleh karena itu kita ucapkan puji dan syukur kepada Allah yang telah melahirkan kita dari orang tua yang muslim, sehingga kita pun menjadi seorang muslim dan tumbuh di lingkungan orang-orang Islam. Hal yang tidak dinikmati oleh bayi-bayi yang lahir dari orang-orang kafir sehingga mereka tumbuh menjadi orang ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya.
 
Kemudian shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, serta pengikut beliau hingga akhir zaman.
 
Kehidupan ini tidak terlepas dari cobaan dan ujian. Tidak ada seorang pun yang terlahir ke dunia tanpa mengalami ujian sedikit pun. Seseorang yang kaya dan berharta, ia Allah uji dengan kekayaannya, apakah ia bersyukur atau malah kufur. Seseorang yang hidup dalam keadaan kurang, maka tidak diragukan lagi ini adalah cobaan kehidupan. Allah uji orang tersebut apakah ia bersabar atau malah menempuh cara-cara yang Allah haramkan demi terbebas dari kemiskinan.
 
Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dari kalangan manusia agar kita sesama manusia bisa mencontoh rekam jejak perjalanan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa di antara kita yang mengalami kemiskinan? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah merasakan kemiskinan. Istri beliau, ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha menuturkan “Dapur Rasulullah tidak pernah hidup (apinya) tiga hari berturut-turut.” Siapa di antara kita yang menikmati kekayaan? Beliau pun seseorang yang merasakan kekayaan, “Beliau berikan seluruh domba beliau yang banyaknya memenuhi antara dua bukit kepada seseorang, agar orang tersebut dan kaumnya menerima hidayah Islam.”
 
Siapa yang bersedih mencela takdir karena kehilangan anggota keluarganya? Beliau kehilngan ayah beliau ketika di dalam kandungan ibunya, ditinggal wafat ibunya ketika beliau berusia 6 tahu, kemudian kakek dan pamannya pun wafat meninggalkan beliau. Beliau juga ditinggal wafat dua orang istri beliau di masa hidupnya, beliau menyaksikan anak-anaknya wafat terlebih dahulu meninggalkan beliau, namun beliau adalah hamba Allah yang bersabar.
 
Namun terkadang karena kelemahan iman, sering mendengar ada orang-orang yang mengatakan “Ah, beliau kan Nabi dan Rasul Allah yang dibimbing oleh wahyu, jadi wajar beliau bersabar.” Kalimat ini hakikatnya tidak patut diucapkan bagi orang-orang yang beriman kepada beliau. Buktinya ada orang-orang yang shalih yang mereka bukan Rasul dan bukan pula Nabi, namun mereka bersabar ketika ditimpa musibah.
 
Pada kesempatan kali ini, kita akan membawakan sebuah kisah seseorang yang memenuhi hidupnya dengan kesabaran ketika ditimpa musibah dan bersyukur di saat lapang. Cerita ini dikisahkan oleh Abdullah bin Muhammad dan diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Kitab ats-Tsiqat. Abdullah bin Muhammad menuturkan:
 
Suatu hari ketika aku menjaga di daerah perbatasan Aris di wilayah Mesir, aku melihat sebuah kemah yang sempit di padang pasir yang terik. Lalu aku pun mendekati kemah tersebut. Aku melihat ada seorang laki-laki yang kedua tangannya buntung, kedua kakinya pun tiada, ditambah telinga yang sudah tuli dan mata yang telah rabun. Namun aku mendengar ia mengatakan
 
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَأَنْ فَضَّلْتَنِي عَلَى كَثِيْرِ مِمَّنْ خَلَقْتَ تَفْضِيْلًا
 
Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku danbersyukur atas kemuliaan yang Engkau berikan kepadaku atas hamba-hamba-Mu yang lain.”
 
Maka aku pun heran dengan apa yang ia katakan. Lalu aku mendekatinya dan aku tanyakan “Wahai saudaraku atas nikmat Allah yang mana engkau bersyukur?” Ia mengatakan, “Diamlah! Kalau sekiranya Allah datangkan lautan niscaya laut tersebut akan menenggelamkanku, atau ia datang api yang menggunung tentulah api tersebut akan membakar tubuhku, atau ia jatuhkan langit pastilah langit itu menghancurkanku. Tapi aku akan senantiasa bersyukur kepada-Nya.” Aku katakan, “Bersyukur atas apa?” Ia menjawab “Dia telah menganugerhkanku lisan, yang senantiasa mengingat dan bersyukur kepada-Nya.”
 
Lalu ia melanjutkan, “Saudaraku, aku memiliki seorang anak yang biasa menyuapiku ketika akhu hendak makan dan mengantarkan aku untuk beribadah. Namun tiga hari ini aku kehilangannya. Tolong carikan ia untukku.” Aku pun mencarikan anaknya, ternyata sang anak diterkam oleh hewan buas. Aku merasa bingung, kalimat apa yang akan aku sampaikan sementara keadaannya sekarang saja sangat memprihatinkan.
 
Lalu aku datang kepadanya, aku buka cerita dengan mengisahkan kisah Nabi Ayyub. Aku katakana,  “Wahai saudaraku tahukah engkau tentang Ayyub?” “Iya aku mengetahuinya.” Jawabnya. “Bukankah Allah telah menjadikannya miskin, lalu bagaimana keadaannya?” kataku. Ia menjawab, “Ia bersabdar.” Allah pun mewafatkan anak-anaknya, bagaimana keadannya?” Sambungku. “Ia bersabar.” Jawabnya. Lalu Allah pun menambah musibahnya dengan penyakit di tubuhnya, bagaimana keadaannya? Tanyaku lagi. “Ia bersabar.” Lalu ia memotong, “Saudaraku, katakan dimana anakku! Aku sangat lapar.” Aku katakana, “Berharaplah pahala dari Allah atas musibah yang menimpamu, anakmu dimangsa hewan buas.” Lalu ia mengucapkan, “Alhamdullah, segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkanku keturunan yang tidak bermaksiat kepada-Nya sehingga ia tidak diadzab di neraka.” Lalu ia tersendak dan wafat.
 
Melihat keadaan demikian, aku pun sempat merasakan kebingungan. Bagaimana harus memandikan, mengafani, dan menguburkannya seorang diri. Tak lama setelah itu, datanglah empat orang penunggang kuda menghampiriku. Mereka bertanya, “Wahai saudara, apa yang menimpamu?” Aku menjawab, “Aku bersama seseorang dan ia telah wafat.” Lalu mereka meminta jasad yang telah kututupi itu dibukakan wajahnya, bisa jadi mereka mengenal jasad tersebut.
 
Sontak ketika melihat wajah jenazah tersebut mereka berteriak “Subhanallah!! Ini adalah mata yang senantiasa menangis karena Allah, wajah yang tertunduk karena takut kepada Allah, dan tangan yang senantiasa digunakan berdoa kepada Allah.” Aku pun bertanya, “Wahai saudaraku, apakah kalian mengenalnya?” Mereka menjawab, “Engkau tidak mengenalnya?! Ia adalah Abu Qilabah sahabat dari Abdullah bin Abbas (sepupu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ia menghindar dari jabatan hakim.”
Akhirnya kami mandikan, kafankan, dan kami kuburkan ia. Keempat penunggang kuda itu pun melanjutkan perjalanan dan aku kembali berjaga-jaga di daerah perbatasan.
 
Kisah Abu Qilabah tidak hanya usai sampai disitu saja. Ia adalah seorang yang bersabar dengan musibahnya dan senantiasa bersyukur kepada Allah dengan lisannya. Lalu apa buah dari amala agungnya ini. Abdullah bin Muhammad kembali menuturkan kisahnya:
 
Di malam hari aku pun bermimpi di tengah lelapnya tidurku. Aku melihat seorang laki-laki mengenakan sutera hijau yang indah, berjalan dengan penuh wibawa, di sebuah taman (yang dalam mimpiku) surga. Laki-laki itu mengulang-ulang ayat
 
سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
 
Keselamatan atas kesabaranmuMaka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar-Ra’du: 24)
 
Aku menghampirinya dan bertanya, “Wahai saudaraku, bukankah Anda adalah orang yang kemarin kami makamkan?” “Iya” Jawabnya. “Apa yang membuatmu mencapai derajat yang mulia ini?” Tanyaku lagi. Ia menjawab, “Sesungguhnya di surga itu ada sebauh derajat, yang tidak akan diperoleh kecuali dengan bersabar ketika ditimpa musibah dan bersyukur di kala lapang.”
 
Demikianlah buah kesabaran, seseorang mencapai derajat yang tinggi lagi mulia di dunia dan akhirat. Bisa jadi di dunia orang yang sabar itu terlihat hina di mata orang lain, namun ia tetap mulia di sisi Allah dalam kehidupan dunianya. Jangan sampai kita bersyukur kepada Allah tatkala lapang dan mencela serta protes tatkala ditimpakan kesempitan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 
فَأَمَّا اْلإِنسَانُ إِذَا مَاابْتَلاَهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ {15} وَأَمَّآ إِذَا مَاابْتَلاَهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ {16
 
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” (QS. Al-Fajr: 15-16)
 
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjadikan kita hamba yang senantiasa bersyukur kepadanya di kala lapang dan bersabar saat mendapatkan kesempitan. Aamiin.

Wallahu'alam. (oh)

Hukum Basmalah Dalam Shalat

Hukum Basmalah Dalam Shalat

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah setelah membaca doa istiftah dan ta’awudz. Secara umum, pembahasan mengenai masalah ini harus diawali dengan pembahasan apakah basmalah itu bagian dari Al Fatihah? Bagi ulama yang berpendapat ia bagian dari Al Fatihah, maka wajib membaca basmalah sebagaimana wajibnya membaca Al Fatihah yang merupakan rukun shalat. Lalu bagi ulama yang berpendapat ia bukan bagian dari Al Fatihah, mereka pun berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah.

Apakah Bagian Dari Al Fatihah?

Para ulama sepakat bahwa basmalah adalah termasuk ayat Al Qur’an (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/83). Karena memang basmalah terdapat dalam salah satu ayat Al Qur’an,

إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS. An Naml: 30)

Namun, terdapat perselisihan yang sangat kuat diantara para ulama mengenai apakah basmalah itu bagian dari surat Al Fatihah. Karena jika ditinjau dari segi riwayat qira’ah, dalam sebagian qira’ah yang shahih, basmalah bukan bagian dari Al Fatihah dan dalam sebagian qira’ah yang lain, basmalah merupakan bagian dari Al Fatihah.

Adapun Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyyah dan jumhur fuqaha berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari Al Fatihah. Mereka berdalil dengan hadits

قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي

“Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman, aku membagi shalat antara Aku dan hambaku menjadi dua bagian, setengahnya untukKu dan setengahnya untuk hambaKu sesuai dengan apa yang ia minta. Ketika hambaku berkata,’Alhamdulillahi rabbil’aalamiin’. Allah Ta’ala berkata, ‘ Hambaku telah memujiKu’” (HR. Muslim 395).

Adapun Ulama Syafi’iyyah berpendapat basmalah adalah bagian dari Al Fatihah. Mereka berdalil diantaranya dengan hadits, semisal hadits ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memberitahu para sahabat mengenai surat yang paling agung dalam Al Qur’an, beliau bersabda:

هِيَ: الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ السَّبْعُ المَثَانِي

surat tersebut adalah ‘Alhamdulillahi rabbil’aalamiin’ yang terdiri dari 7 ayat” (HR. Al Bukhari 4474 , 4647).

mereka menghitung lafadz “shiraathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa laadh dhaaliin” sebagai 1 ayat, sehingga basmalah termasuk dalam 7 ayat tersebut. Adapun para ulama yang mengatakan basmalah bukan bagian dari Al Fatihah menghitung lafadz ini sebagai 2 ayat, yaitu: shiraathalladziina an’amta ‘alaihim sebagai satu ayat, dan ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa laadh dhaaliin sebagai satu ayat

Dalil lain bagi yang berpendapat basmalah bagian dari Al Fatihah, yaitu hadits,

إِذَا قَرَأْتُمِ : الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاقْرَءُوا : بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ , وَأُمُّ الْكِتَابِ , وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي , وَبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِحْدَاهَا

jika kalian membaca Alhamdulillahi rabbil’aalamiin maka bacalah bismillahir rahmanir rahim, karena ia adalah ummul qur’an, ummul kitab dan 7 rangkaian ayat, dan bismillahir rahmanir rahim salah satunya” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 2181, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 729).

hadits ini secara sharih menyatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari Al Fatihah, dan inilah pendapat yang menurut kami lebih rajih. Adapun pendalilan dari hadits Abu Hurairah yang pertama diambil dari mafhum hadits.

Namun sebagaimana telah dijelaskan, bahwa bacaan basmalah tsabit pada sebagian qira’ah, maka tentunya perbedaan pendapat sangat longgar perkaranya (lihat Sifatu Shalatin Nabi, 79-80).

Apakah Bagian Dari Setiap Surat?

Sebagaimana Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyyah dan jumhur fuqaha berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari Al Fatihah, mereka juga berpendapat basmalah bukanlah bagian dari setiap surat (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/83). Namun basmalah memang Allah turunkan untuk pemisah antara surat yang satu dengan yang lain. Diantara alasan bahwa basmalah bukanlah bagian dari setiap surat, para ulama ijma’ bahwa surat Al Kautsar itu terdiri dari 3 ayat, dengan demikian basmalah bukan bagian dari surat Al Kautsar.

Adapun Syafi’iyyah berpendapat basmalah adalah bagian dari Al Fatihah dan juga dari setiap surat (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/84). Diantara alasannya adalah bahwa para sahabat Nabi mengumpulkan Al Qur’an dan menulis basmalah di setiap awal surat, padahal yang bukan berasal dari Al Qur’an tidak boleh ditulis dalam Al Qur’an. Dan para ulama sepakat bahwa basmalah yang berada di antara dua surat itu adalah kalamullah, sehingga wajib dianggap sebagai bagian dari surat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/85).

Hukum Membaca Basmalah

Dari penjelasan sebelumnya, kita ketahui bahwa Syafi’iyah berpendapat wajibnya membaca basmalah karena ia merupakan bagian dari Al Fatihah. Dan mengingat membaca Al Fatihah adalah rukun shalat, maka shalat tidak sah jika tidak membaca basmalah karena adanya kekurangan dalam membaca Al Fatihah. Sebagaimana hadits

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

Diantara para salaf yang berpendapat demikian adalah Al Kisa-i, ‘Ashim bin An Nujud, Abdullah bin Katsir, dan yang lainnya (Sifatu Shalatin Nabi, 79). Syafi’iyyah juga berpendapat wajibnya membaca Al Fatihah sebelum qira’ah setiap awal surat dari Al Qur’an dalam shalat (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/88).

Sementara Hanafiyah yang berpendapat basmalah bukan bagian dari Al Fatihah, mereka mengatakan bahwa membaca basmalah dalam shalat hukumnya sunnah sebelum membaca Al Fatihah di setiap rakaat. Disunnahkannya membaca basmalah sebelum Al Fatihah karena dalam rangka tabarruk dengan basmalah. Adapun selain Al Fatihah tidak disunnahkan.

Namun Malikiyyah berpendapat tidak disunnahkan untuk membaca basmalah sebelum qira’ah setelah Al Fatihah, sedangkan menurut Hanabilah sunnah hukumnya baik sebelum Al Fatihah maupun sebelum qira’ah. Dan Malikiyyah membolehkan tasmiyah sebelum Al Fatihah ataupun sebelum qira’ah (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/87-88).

Pendapat yang masyhur dari Malikiyyah, yang juga berpendapat basmalah bukan bagian dari Al Fatihah, mereka mengatakan bahwa membaca basmalah sebelum Al Fatihah ataupun qira’ah hukumnya makruh. Mereka berdalil dengan hadits Anas bin Malik

مِعْتُ قتادةَ يُحَدِّثُ عن أنسٍ قال : صلَّيْتُ مع رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وأبي بكرٍ ، وعمرَ ، وعثمانَ ، فلم أَسْمَعْ أحدًا منهم يقرأُ بسمِ اللهِ الرحمنِ الرحيمِ

“aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman dan aku tidak mendengar mereka membaca bismillahir rahmanir rahim” (HR. Muslim 399).

namun ada riwayat dari Imam Malik bahwa beliau berpendapat boleh, dan riwayat lain dari Malikiyyah yang mengatakan hukumnya wajib (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/87).

Kesimpulannya, khilaf dalam masalah ini berporos pada masalah apakah basmalah itu termasuk Al Fatihah ataukah tidak dan apakah ia termasuk bagian dari setiap surat atau tidak. Maka dalam hal membaca basmalah atau tidak membaca basmalah perkaranya longgar.

Hukum Mengeraskan Bacaan Basmalah

Para ulama sepakat basmalah dibaca sirr (lirih) pada shalat yang sirr. Namun masyhur dikalangan para ulama bahwa mereka berbeda pendapat apakah membaca basmalah sebelum Al Fatihah itu dikeraskan (jahr) ataukah secara lirih (sirr) pada shalat yang jahr.

Pendapat Pertama

Sebagian ulama berpendapat basmalah disunnahkan dibaca secara keras (jahr). Diantara yang berpendapat demikian adalah ulama Syafi’iyyah. Mereka berdalil dengan dalil-dalil yang menyatakan bahwa basmalah adalah bagian dari Al Fatihah, maka dibaca secara jahr sebagaimana Al Fatihah (lihat Sifatu Shalatin Nabi, 81; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 16/182). Selain itu mereka juga berdalil dengan beberapa hadits, diantaranya,

مَا حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِسْحَاقَ الْعَدْلُ بِبَغْدَادَ ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ السِّرَاجٍ ، ثنا عُقْبَةُ بْنُ مُكْرَمٍ الضَّبِّيُّ ، ثنا يُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ ، ثنا مِسْعَرٌ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” يَجْهَرُ بِـ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Abu Muhammad Abdullah bin Ishaq Al Adl di Baghdad menuturkan kepadaku, Ibrahim bin Ishaq bin As Sarraj menuturkan kepadaku, ‘Uqbah bin Mukram Ad Dhibbi menuturkan kepadaku, Yunus bin Bukair menuturkan kepadaku, Mis’ar menuturkan kepadaku, dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya men-jahr-kan bismillahir rahmanir rahim”. (HR. Al Hakim 805).

Uqbah bin Mukram Ad Dhibbi dikatakan oleh Ibnu Hajar: “shaduq”. Sedangkan Yunus bin Bukair diperselisihkan statusnya, sebagian ulama men-tautsiq-nya, sebagaimana salah satu riwayat dari Ibnu Ma’in. Namun An Nasa-i mengatakan: “ia dha’if”, Yahya Al Hamani mengatakan: “saya tidak menghalalkan haditsnya Yunus”. Namun Ibnu Ma’in menjelaskan: “ia shaduq namun dahulu tsiqah, disebabkan ia pernah bersama Ja’far bin Yahya Al Barmaki dan ia dibuat kaya olehnya. Hingga ada orang yang berkata tentang Yunus: ‘ia diduga telah zindiq karena begini dan begitu’, namun Yunus berkata: ‘itu dusta’”. Maka yang lebih tepat ia shaduq sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ma’in. Sehingga, sanad ini jayyid dan bisa menjadi penguat. Namun riwayat ini tidak secara sharih menyatakan bahwa Rasulullah mengeraskan basmalah ketika shalat.

Terdapat jalan lain dari Abu Hurairah,

أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ الْحَارِثِ الْفَقِيهُ ، أنبأ عَلِيُّ بْنُ عُمَرَ الْحَافِظُ ، ثنا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْفَارِسِيُّ , ثنا عُثْمَانُ بْنُ خُرَّزَاذَ ، ثنا مَنْصُورُ بْنُ أَبِي مُزَاحِمٍ ، ثنا أَبُو أُوَيْسٍ ، عَنِ الْعَلاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْقُوبَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ : ” أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَمَّ النَّاسَ قَرَأَ : ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ )

Abu Bakr bin Al Harits Al Faqih mengabarkan kepadaku, Ali bin Umar Al Hafidz mengabarkan kepadaku, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Farisi menuturkan kepadaku, Utsman bin Khurazad menuturkan kepadaku, Manshur bin Abi Muzahim menuturkan kepadaku, Abu Uwais menuturkan kepadaku, dari Al ‘Ala bin Abdirrahman bin Ya’qub, dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika mengimami orang-orang, beliau men-jahr-kan bacaan bismillahir rahmanir rahim” (HR. Al Baihaqi 2186).

Al ‘Ala bin Abdirrahman bin Ya’qub diperselisihkan statusnya, Ibnu Ma’in mengatakan: “ia tidak pandai, orang-orang senantiasa membuang hadits-haditsnya”. Ad Darimi mengatakan: “ia dhaif”. Sedangkan di sisi lain Imam Ahmad mengatakan: “ia tsiqah, saya belum pernah mendengar seseorang mengatakan hal buruk tentangnya”. At Tirmidzi mengatakan: “ia tsiqah menurut pada ahli hadits”. Imam Muslim juga banyak mengeluarkan haditsnya dalam Shahih MuslimWallahu’alam, nampaknya lebih tepat ia shaduq, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim: “ia shalih, para tsiqat meriwayatkan darinya, walaupun ia mengingkari beberapa haditsnya”. Terlebih, Ibnu ‘Adi mengatakan: “Al ‘Ala memiliki naskah dari ayahnya dari Abu Hurairah, para tsiqat meriwayatkan hadits-hadits dalam naskah tersebut darinya, dan aku memandang ia tidak mengapa”. Adapun Abu Uwais ia dikatakan oleh Ibnu Hajar “ia shaduq yahim”. Ibnu ‘Adi mengatakan: “ia termasuk orang yang ditulis hadits-nya”. Ali Al Madini mengatakan: “ia dhaif dalam pandangan ashab kami”. Ibnu Ma’in memiliki beberapa riwayat pendapat tentang Abu Uwais, Dr. Ahmad Muhammad Nazrussaif men-tahqiq bahwa pendapat terakhir Ibnu Ma’in adalah yang menyatakan Abu Uwais itu shaduq.

Namun sanad ini memiliki illah, yaitu terdapat mukhalafah dari Abu Uwais dalam riwayat yang lain. Ibnu Hajar dalam Ad Dirayah (1/133) mengatakan: “Ad Daruquthni dan Ibnu Adi meriwayatkan dengan sanad ini, mereka berdua berkata: ‘lafadz قرأ menggantikan جهر dan ini yang mahfuzh dari Abu Uwais’. Dan Abu Uwais itu bukan hujjah jika bersendirian, lebih lagi jika ada mukhalafah”. Sehingga sanad ini munkar tidak bisa menjadi penguat.

Dan terdapat beberapa jalan lain dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, dan ‘Ali bin Abi Thalib yang semuanya tidak lepas dari kelemahan yang berat dan kebanyakan riwayat ini tidak secara sharih (jelas) menyebutkan bahwa Rasulullah men-jahr-kan basmalah ketika shalat. Sehingga wallahu’alam, tidak ada hadits shahih yang menyatakan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah men-jahr-kan basmalah dalam shalat.

Namun para ulama yang berpendapat jahr basmalah, berdalil dengan riwayat dari Abu Hurairah,

عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ ، قَالَ : كُنْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ ” فَقَرَأَ : بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ , ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى بَلَغَ وَلا الضَّالِّينَ ” ، قَالَ : ” آمِينَ ” ، وَقَالَ النَّاسُ : آمِينَ ، وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ : ” اللَّهُ أَكْبَرُ ” ، وَيَقُولُ إِذَا سَلَّمَ : ” وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَشْبَهُكُمْ صَلاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Nu’aim Al Mujmir, ia berkata, aku pernah shalat bermakmum pada Abu Hurairah, ia membaca bismillahir rahmanir rahim, lalu membaca Ummul Qur’an sampai pada waladh dhaalliin. Lalu Abu Hurailah berkata: “amin”, kemudian diikuti para makmum mengucapkan: “amin”. Dan setiap akan sujud ia mengucapkan “Allahu Akbar”. Selepas salam, Abu Hurairah berkata: “demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, shalatku adalah shalat yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Al Hakim, 804, sanadnya shahih).

Tapi sebagian ulama mengatakan bahwa pendalilan dari hadits ini tidak sharih (tegas), karena yang dimaksud Abu Hurairah adalah keseluruhan praktek shalat beliau secara umum, bukan pada setiap rincian prakteknya. Ibnul Qayyim mengatakan: “yang benar, hadits-hadits tersebut tidak ada yang sharih, dan yang sharih tidak shahih. Dan masalah ini (jika dibahas secara rinci) memerlukan berjilid-jilid tulisan yang banyak” (Zaadul Ma’ad, 199).

Dan terdapat beberapa riwayat shahih bahwa sebagian para sahabat men-jahr-kan basmalah, diantaranya Abu Hurairah sebagaimana riwayat yang lalu, Ibnu Az Zubair dan Mu’awiyah radhiallahu’anhum.

عَنْ بَكْرٍ، أَنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ كَانَ يَجْهَرُ بِ {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}

Dari Bakr (Al Mazini), bahwa Ibnu Az Zubair biasanya men-jahr-kan bismillahir rahmanir rahim (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 4156, sanadnya shahih)

أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: ” صَلَّى مُعَاوِيَةُ بِالْمَدِينَةِ صَلَاةً فَجَهَرَ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ فَقَرَأَ فِيهَا {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}

Anas bin Malik berkata: “Mu’awiyah shalat di Madinah, dan ia men-jahr-kan bacaannya dan ia membaca bismillahir rahmanir rahim” (HR. Al Baihaqi dalam Ash Shaghir 392, sanadnya hasan)

Pendapat Kedua

Sebagian ulama berpendapat bahwa basmalah disunnahkan dibaca secara lirih (sirr) tidak dikeraskan. Diantara yang berpendapat demikian adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, Az Zaila’i, Ibnul Qayyim, Hanafiyyah, Hanabilah, dan lainnya (lihat Sifatu Shalatin Nabi, 83; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 16/181). Mereka mengatakan bahwa tidak ada dalil yang shahih dan sharih bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengeraskan bacaan basmalah. Selain itu terdapat hadits dalam Shahihain, hadits dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ وأبا بكرٍ وعمرَ رضي اللهُ عنهما ، كانوا يفتتحونَ الصلاةَ : بالْحَمْدِ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar, mereka membuka shalat dengan Alhamdulillahi rabbil ‘alamin” (HR. Al Bukhari 743).

dalam riwayat Muslim:

صلَّيْتُ مع رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وأبي بكرٍ ، وعمرَ ، وعثمانَ ، فلم أَسْمَعْ أحدًا منهم يقرأُ بسمِ اللهِ الرحمنِ الرحيمِ

“aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman dan aku tidak mendengar mereka membaca bismillahir rahmanir rahim” (HR. Muslim 399)

juga terdapat jalan lain dari Abdullah bin Mughaffal namun terdapat kelemahan di dalamnya. Hadits shahih dan sharih menafikan dibacanya basmalah secara jahr. Hadits Anas ini juga lebih shahih dan lebih kuat jalan-jalannya dibandingkan dengan hadits-hadits yang menyatakan jahr.

Pendapat Ketiga

Ulama Malikiyyah berpendapat makruh membaca secara jahr. Al Qarafi mengatakan: “yang lebih wara’ adalah tetap membaca basmalah dalam rangka keluar dari khilaf, namun ia dibaca secara sirr dan makruh jika di-jahr-kan” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 16/182).

Yang tepat, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terkadang men-jahr-kan basmalah dan terkadang melirihkannya, namun yang paling sering adalah melirihkannya sehingga itu yang lebih utama. Karena sudah diketahui bersama bahwa Anas bin Malik radhiallahu’anhu memiliki membersamai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam kurun waktu yang lama, jauh lebih lama dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu. Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan: “Rasulullah terkadang men-jahr-kan basmalah, namun lebih sering melirihkannya. Tidak tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah tidak pernah merutinkan pengerasan basmalah dalam shalat malam maupun shalat wajib yang 5 waktu, baik sedang tidak safar maupun sedang safar. Para khulafa ar rasyidin pun melirihkan basmalah, dan juga mayoritas para sahabat Nabi, dan juga mayoritas penduduk negeri ketika itu di masa-masa generasi utama umat Islam” (Zaadul Ma’ad, 199).

Sehingga yang lebih utama adalah melirihkan basmalah namun tidak mengapa terkadang mengeraskannya. Inilah pendapat yang lebih tepat insya Allah. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menyatakan: “perkataan Abu Hurairah: ‘shalatku adalah shalat yang paling mirip dengan Rasulullah‘, menunjukkan bahwa men-jahr-kan basmalah itu boleh. Namun yang afdhal adalah tidak men-jahr-kannya”.

Syaikh Ibnu Baz juga melanjutkan dengan sebuah nasehat yang indah: “tidak semestinya masalah ini menjadi bahan perselisihan, semestinya perkara ini dianggap perbedaan yang ringan saja. Yang afdhal adalah lebih memilih sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dengan tidak men-jahr-kan basmalah. Namun jika dalam sebagian kesempatan di-jahr-kan karena dasar hadits Abu Hurairah, atau dalam rangka pengajaran, yaitu mengajarkan orang-orang bahwa basmalah itu hendaknya dibaca, maka ini semua tidak masalah. Dan sebagian sahabat Nabi radhiallahu’anhum biasa men-jahr-kan basmalah” (Fatawa Nurun ‘ala Ad Darbhttp://www.binbaz.org.sa/mat/15120).

Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat, wallahu waliyut taufiq.

Rujukan:

  • Sifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi
  • Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah
  • Tamaamul Minnah Fit Ta’liqi ‘Ala Fiqhis Sunnah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
  • Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah

disadur dari : suaramuhammadiyah.id

Tata Cara Shalat Tarawih menurut Tarjih

Tata Cara Shalat Tarawih menurut Tarjih

Dalil

Di malam-malam Ramadhan umat Islam dituntunkan untuk melaksanakan qiyamu Ramadhan (shalat Tarawih) sesuai dengan hadis Nabi saw,

عَن أَبي هريرة قال كان رسول الله ص.م يُرَغِّبُ في قِياَمِ رَمَضَان مِن غَيرِ أَن يأمُرهم بَعَزِيمة فيقولمَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه (رواه البخاري و اللفظ المسلم)

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: Adalah Rasulullah saw menganjurkan mereka untuk melakukan qiyamu Ramadhan tetapi tidak mewajibkan, sebagaimana sabda beliau: Barang siapa yang terjaga (melakukan qiyam) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu. (HR. Dua ahli hadis, dan lafalnya adalah lafal Muslim)

Hukum Qiyamu Ramadhan (Shalat Tarawih)

Qiyamu Ramadhan adalah sunnah yang dianjurkan untuk dilakukan di bulan Ramadhan. Hukumnya sunnah dan tidak wajib. Hal ini dapat dilihat dari hadits Ibnu Abbas yang dikutip di muka dan hadits Aisyah berikut:

عن ابن شهاب قال أخبرني عروة أن عائشة أخبرته أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج ذات ليلة من جوف الليل فصلى في المسجد فصلى رجال بصلاته فأصبح الناس فتحدثوا فاجتمع أكثر منهم فصلوا معه فأصبح الناس فتحدثوا فكثر أهل المسجد من الليلة الثالثة فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلوا بصلاته فلما كانت الليلة الرابعة عجز المسجد عن أهله حتى خرج لصلاة الصبح فلما قضى الفجر أقبل على الناس فتشهد ثم قال أما بعد فإنه لم يخف علي مكانكم لكني خشيت أن تفرض عليكم فتعجزوا عنه. (رواه البخاري و المسلم)      

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Syihab (dilaporkan bahwa) ia berkata: ‘Urwah menyampaikan kepada saya bahwa Aisyah telah melaporkan bahwa Rasulullah saw pada suatu malam (di bulan Ramadhan) berangkat ke masjid dan mendirikan shalat di sana. Kemudian orang banyak mengikuti beliau. Keesokan harinya orang bercerita tentang shalat Rasulullah saw. itu sehingga jama’ah semakin banyak. Keesokan harinya orang juga bercerita lagi sehingga pada malam keempat jama’ah tidak lagi tertampung di masjid itu. Paginya, setelah selesai shalat shubuh Nabi berkata: ‘amma ba’du. Sesungguhnya aku tahu kemampuan kalian. Akan tetapi aku ragu bila shalat tarawih itu diwajibkan atas kalian, dan kalian tidak mengerjakannya (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Jumlah Raka’at Qiyamu Ramadhan

Pada dasarnya qiyamu Ramadhan, shalat tahajjud, shalat witir, dan qiyamu lail adalah sama. Dengan demikian jumlah raka’at qiyamu Ramadhan adalah 11 raka’at. Hal ini didasrkan pada hadits riwayat Abi Salamah bin Abdirrahman ketika beliau bertanya pada ‘Aisyah (istri Rasulullah)

كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : ” مَا كَانَ الرسول الله ص.م يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً  يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ  ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا  فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا. ( رواه البخاري)

Artinya: Bagaimana shalatnya Rasulullah saw di bulan Ramadhan? Aisyiyah menjawab: Tidaklah Rasulullah saw. menambah baik di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at maka janganlah kamu tanyakan bagus dan lamanya, kemudian beliau shalat empat raka’at, maka janganlah kamu tanyakan bagus dan lamanya, kemudian beliau mengerjakan shalat tiga raka’at (HR al-Bukhari)

Tata Cara Pelaksanaan Qiyamu Ramadhan

Beberapa hadits Nabi saw yang terdapat dalam HPT hal 346-354 menjelaskan bahwa kaifiyat (tata cara) qiyamu Ramadhan adalah sebagai berikut:

1 Diawali dengan melaksanakan shalat iftitah 2 raka’at (rak’atain khofifatain). Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Muslim sebagai berikut:

عَنْ اَبِى هُرَيْرَة عَنِ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:إِذَا قاَمَ اَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَحْ صَلاَتَهُ بَرَكْعَتَيْنِ خَفِفَتَيْنِ.(رواه مسلم)

Artinya: Diriwayatkan dari dari Abi Hurairah ra dari Nabi saw beliau bersabda: Apabila di antaramu akan melakukan shalat malam, hendaklah membukanya dengan dua raka’at yang ringan-ringan. (HR Muslim)

2 Cara melaksanakan shalat iftitah 2 raka’at, yaitu pada raka’at pertama setelah takbiratul ihram membaca do’a iftitah: “Subhanallah Dzil Malakuut wal Jabaruut wal Kibriyaa-i wal ‘Adzomah”, lalu membaca “al-Fatihah”. Dan pada raka’at kedua hanya membaca “al-Fatihah”. Adapun bacaan lainnya seperti; bacaan pada waktu ruku’, sujud dan lainnya sama bacaannya seperti dalam shalat biasa.

عَن حُذَيْفَةَ بْنِ اليَمَانِ قَالَ : أَتَيتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ ، فَتَوَضَّأَ وَقَامَ يُصَلِّي ، فَأَتَيْتُهُ ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِه ، فَأَقَامَنيَ  عَنْ يَمِيْنهِ ، فَكَبَّرَ ، فَقَالَ :  سُبْحَانَ اللهِ ذِي اْلَمَلَكُوْتِ ، وَالْجَبَرَوت  ، وَالْكِبْرِيَاءِ ، وَالْعَظَمَةِ – اَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِى فِى اْلأَوْسَطِ وَقَالَ فِى مَجْمَعِ الزَّوَائِدِ: رِجَالُهُ مُوَثَّقُوْنَ: الجزء الول: 107

Artinya: Dari Khuzaifah al-Yamany ia berkata: Pada suatu malam aku pernah dapat pada Nabi saw., kemudian beliau berwudhu dan mendirikan shalat. Maka aku menghampiri beliau di sebelah kirinya, lalu aku ditempatkan di sebelah kanannya. Maka beliau membaca “Subhanallah Dzil Malakuut wal-Jabaruut wal Kibriyaa-i wal ‘Adzamah. (Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaiid, 2:107)

أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ قَالَ بِتُّ عِنْدَهُ لَيْلَةً وَهُوَ عِنْدَ مَيْمُونَةَ فَنَامَ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفُهُ اسْتَيْقَظَ فَقَامَ إِلَى شَنٍّ فِيهِ مَاءٌ فَتَوَضَّأَ وَتَوَضَّأْتُ مَعَهُ ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ عَلَى يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَلَى يَمِينِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِي كَأَنَّهُ يَمَسُّ أُذُنِي كَأَنَّهُ يُوقِظُنِي فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَدْ قَرَأَ فِيهِمَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى حَتَّى صَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ ثُمَّ نَامَ فَأَتَاهُ بِلَالٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى لِلنَّاسِ – رواه أبو داود:الصلاة: فى صلاة الليل:1157

Artinya: Sungguh Kuraib ibnu Abbas, ia menceritakan bahwa dirinya berkata: Saya bertanya kepada Ibnu Abbas; Bagaimana shalatnya Rasulullah saw pada malam hari. Saya bermalam di tempat, sedang beliau (Rasulullah) berada di tempat Maemunah…, maka beliau shalat dua raka’at ringan-ringan-ringan, beliau membaca Ummul Qur’an pada setiap rakaat kemudian beliau mengucapkan salam sampai beliau shalat sebelas raka’at (HR Abu Daud)

3 Pelaksanaan shalat khafifatain yang dua raka’at itu sebagaimana halnya pelaksanaan 11 raka’at dapat dilakukan secara berjamaah (hadits Ibnu Abbas dari Kuraib)

4 Setelah itu, melaksanakan shalat sebelas raka’at. Beberapa hadits Nabi saw menjelaskan bahwa qiyamu Ramadhan dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, diantaranya;

a Melaksanakan 4 raka’at + 4 raka’at + 3 raka’at = 11 raka’at

Qiyamu Ramadhan yang jumlah raka’atnya 11 dapat dilaksanakan dengan cara 4 raka’at satu salam, 4 raka’at satu salam kemudian 3 raka’at satu salam. Tata cara semacam ini didasarkan pada beberapa hadits, diantaranya;

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ، وَلاَ فِي غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ، وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي

Artinya: Dari Abi Salamah bi Abdirrahman, sesungguhnya ia telah bertanya pada Aisyah ra.: Bagaimana shalatnya Rasulullah saw. di bulan Ramadhan? Aisyah menjawab: Tidaklah Rasulullah saw menambah baik di bulan Ramadhan atau di luar bulan Ramadhan lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at maka jangan tanyakan bagus dan lamanya, kemudian belaiu shalat emat raka’at maka jagnanlah kamu tanyakan bagus dan lamanya, kemudian beliau mengerjakan shalat tiga raka’at. Aisyah berkata: Wahai Rasulullah apakah engkau tidur sebelum melakukan witir? Nabi menjawab: Ya Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.” (HR Muslim)

b 2 (rak’ataian khafifatain) 2 raka’at + 2 raka’at + 2 raka’at + 2 raka’at + 2 raka’at + 1 raka’at – 13 raka’at

cara melaksanakan qiyamu Ramadhan 13 raka’at tersebut dimulai dengan 2 raka’at khofifatain dilakun dengan 2 raka’at, 2 raka’at, 2 raka’at,  2 raka’at, 2 raka’at kemudian witir 1 raka’at. Hal ini berdasar pada beberapa hadits, diantaranya;

عَنْ زَيْدِ بِنْ خَالِدٍ الْجُهَنَيِّ أَنَّهُ قَالَ لَاَرْمُقَنّ صَلَاةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم الَّيْلة فَصَلّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ طَوِيْلَتَيْنِ طَوِيْلَتَيْنِ طَوِيْلَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُوْنَ الَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُوْنَ الَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُوْنَ الَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُوْنَ الَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ اَوْتَرَفَذاَلِكَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً

Artinya: “Diriwayatkan dari Zaid bin Khalid al-Huhany bahwa ia berkata: Benar-benar aku akan mengamati shalat Rasulullah saw pada malam ini, beliau shalat dua raka’at khafifatain, lalu beliau shalat dua raka’at panjang-panjang keduanya, kemudian shalat dua raka’at yang kurang panjang dari shalat sebelumnya, lalu beliau shalat lagi dua raka’at yang kurang lagi dari shalat sebelumnya, kemudian shalat dua raka’at yang kurang lagi dari sahalat sebelumnys, lalu beliau shalat lagi dua raka’at yang kurang lagi dari shalat sebelumnya, kemudian shalat dua raka’at yang kurang lagi dari shalat sebelumnya, dan beliau melakukan witir (satu rka’at). Demikianlah (shalat) tiga belas raka’at”(HR Muslim)

Hadits di atas menjelaskan bahwa Nabi saw pernah melakukan shalat malam 13 raka’at dan dimulai dengan 2 raka’at yang ringan-ringan dilanjutkan dengan 11 raka’at

4 Setelah shalat witir selesai, kemudian membaca kalimat “Subhaanal malikil Quddus” 3X dengan suara nyaring dan panjang pada bacaan yang ketiga. Lalu membaca “Rabbil Malaaikati Warruuh” “Rabbil Malaaikati Warruuh”.

Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Ubah bin Ka’ab sebagai berikut;

كَانَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِى الْوِتْرِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى و َ قُلْ يَآأَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَاِذَا سَلَّمَ قَالَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ اْلقُدُسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

Artinya: “Adalah Rasulullah saw pada shalat witir membaca “Sabbihis marabbikal a’la” dan “Qurl yaa ayyuhal Kafirrun” dan “Qul huwallahu Ahad”. Kemudian apabila telah selesai mengucapkan salam beliau membaca “Subhaanal malikil Quddus” tiga kali (HR an-Nasai)

Juga hadits riwayat Abdirrahman sebagai berikut:

Artinya: “Adalah Rasulullah saw beliau melakukan (shalat) witir dengan membaca “Sabbihis marabbikal a’la, dan “Qul yaa ayyuhal Kafirun” dan “Qul Huwallahu Ahad”. Apabila telah selesai salam, beliau membacda “Subhannal malikil Quddus” tiga kali dan memanjangkan dan meninggikan suaranya pada (bacaan)ketiga” (HR an-Nasai)

كَانَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِى يُوْتِرُ بِسَبِّحْاِسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى و َ قُلْ يَآأَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَاِذَا سَلَّمَ قَالَ سُبْحَانَ الْمَلِكِ اْلقُدُسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يَمُدّ ُصَوْتَهُ فِى الثَّالَثَةِ ثُمَّ يَرْفَعُ – انسـأى

Artinya: “dan Lafadz ad-Daruquthni: Apabila beliau selesai mengucapkan salam, beliau membaca “Subhaanal malikil Quddus” tiga kali dan memangjangkan bacaannya, kemudian beliau membaca: Rabbil Malaikati war Ruuh”.

و لفظا الدرالقطنى : اِذَا سَلَّمَ قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ اْلقُدُسِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ يَمُدّ ُصَوْتَهُ وَيَقُوْلُ رَبُّ الْمَلَإِىكَةُ وَالرُّوْحُ – رواه الطلرانى

Sumber: Tuntunan Ramadhan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

disadur dari : suaramuhammadiyah.id

Bacaan Basmalah dalam Solat Jahr atau Sirr

Basmallah Dalam Shalat; Sirr atau Jahr?

(Majelis Tarjih)

shalat jamaah
Ilustrasi

Pertanyaan:

  1. Jika surat al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat, dari bacaan bismillah dan seterusnya, bukankah seharusnya bacaan basmalah tidak disirrikan, bahkan harusnya dijahrkan sama seperti ayat-ayat berikutnya ketika kita baca jahr dalam shalat? Sebagai anggota Muhammadiyah saya perlu memahaminya, karena orang-orang Muhammadiyah sendiri lebih banyak yang membaca surat al-Fatihah dalam shalatnya tanpa menjahrkan bahkan ada yang tidak memulainya dengan bismillahirrahmanirrahim. (Marsa’id, S.Pd.I.)
  2. Manakah yang benar, bacaan basmalah dalam surat al-Fatihah ketika mengerjakan shalat dibaca jahr atau sirr? Di daerah kami masih sering warga Muhammadiyah bertanya-tanya dan terkadang saling menyalahkan. (Ridwan, 08153246xxxx)

Jawaban:

Kedua pertanyaan dari dua orang penanya di atas akan kami jawab sekaligus dalam satu rangkaian jawaban. Namun, sebelumnya perlu diketahui bahwa masalah bacaan basmalah dalam surat al-Fatihah yang dibaca ketika mengerjakan shalat telah beberapa kali ditanyakan oleh penanya sebelumnya dan telah pula kami jawab dan dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah. 

Di antaranya yang telah diterbitkan dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 2 terbitan Suara Muhammadiyah Cetakan VI tahun 2003 halaman 53-54 dan Tanya Jawab Agama Jilid 4 Cetakan III halaman 82-89. 

Tetapi ada baiknya pada kesempatan kali ini kami jelaskan kembali secara singkat jawaban tentang persoalan tersebut.

Pendapat Para Ulama tentang Bacaan Basmalah dalam Shalat

Para ulama berbeda pendapat mengenai bacaan basmalah dalam shalat:

  1. Imam Malik melarang membacanya dalam shalat fardlu, baik secara jahr (keras) maupun secara sirr (lembut), baik dalam membuka al-Fatihah maupun dalam surat lainnya, tetapi beliau membolehkan membacanya dalam shalat nafilah (sunnah)
  2. Imam Abu Hanifah mengharuskan membacanya ketika membaca al-Fatihah dalam shalat secara sirr (lembut) pada setiap rakaat, dan lebih baik membacanya ketika membaca setiap surat.
  3. Imam asy-Syafi‘i berpendapat wajib membacanya dalam shalat secara jahr (keras) dalam shalat jahr, tetapi dalam shalat sirri wajib dibaca dengan sirri.
  4. Imam Ahmad Ibnu Hanbal berpendapat harus membacanya dengan sirri dalam shalat dan tidak mensunnahkan membacanya dengan jahr.

Sumber perbedaan pendapat tersebut adalah karena perbedaan pendapat mengenai status basmalah, apakah ia termasuk surat al-Fatihah, dan termasuk permulaan tiap-tiap surat atau tidak. Secara ringkas, perbedaan pendapat tersebut dapat kami uraikan sebagai berikut:

  1. Asy-Syafi‘iyyah berpendapat bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari surat al-Fatihah dan merupakan awal dari setiap surat dalam al-Qur’an.
  2. Al-Malikiyyah berpendapat bahwa basmalah bukan merupakan ayat, baik dari surat al-Fatihah maupun dari al-Qur’an.
  3. Al-Hanafiyyah mengambil jalan tengah antara asy-Syafi‘iyyah dan al-Malikiyyah. Mereka berpendapat bahwa penulisan basmalah dalam al-Mushhaf menunjukkan bahwa basmalah adalah ayat al-Qur’an, tetapi tidak menunjukkan bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari tiap-tiap surat. Hadits-hadits yang memberitakan bahwa basmalah tidak dibaca dengan keras dalam shalat ketika membaca al-Fatihah menunjukkan bahwa basmalah bukan salah satu ayat dari surat al-Fatihah, tetapi mereka menetapkan bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari al-Qur’an, yang diturunkan sebagai pembatas antara satu surat dengan surat lainnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: Bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui batas-batas surat sebelum diturunkan ‘Bismillahir-Rahmanir-Rahim’.

Pendapat Majelis Tarjih tentang Bacaan Basmalah dalam Shalat

Kami berpendapat boleh membaca basmalah secara jahr dan boleh juga secara sirr dalam shalat. Pendapat ini berlandaskan hadits-hadits sebagai berikut:

  • عَنْ أَنَسٍ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q 9$# ÉOŠÏm§ 9$# . [رواه مسلم]

“Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: Saya shalat bersama Rasulullah saw, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, tetapi saya tidak mendengar seorang pun di antara mereka yang membaca: ‘Bismillahir-Rahmanir-Rahim’.” [HR. Muslim].

  • عَنْ أَبِي هِلاَلٍ عَنْ نُعَيْمٍ اْلمُجَمِّرِ قَالَ: صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q 9$# ÉOŠÏm§ 9$# ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ ÎŽö xî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgø‹n=tæ Ÿwur tûüÏj9!$žÒ9$# فَقَالَ آمِينْ وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ: اَللهُ أَكْبَرُ، وَإِذَا قَامَ مِنَ اْلجُلُوسِ فِي اْلإِثْنَتَيْنِ قَالَ: اَللهُ أَكْبَرُ، وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلاَةً بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. [رواه النسائي]

“Diriwayatkan dari Abu Hilal, diriwayatkan dari Nu’aim al-Mujammir, ia berkata: Saya shalat dibelakang Abu Hurairah (makmum). Maka beliau membaca ‘Bismillahir-Rahmanir-Rahim’, kemudian membaca Ummul-Qur’an, hingga ketika sampai pada ‘Gairil-magdlubi ‘alaihim waladl-dlaalliin’ beliau membaca ‘Amiin’. Kemudian orang-orang yang bermakmum membaca ‘Amiin’. Dan setiap bersujud beliau membaca ‘Allahu Akbar’ dan apabila berdiri dari duduk dalam dua rakaat, beliau membaca ‘Allahu Akbar’, dan apabila membaca salam (sesudah selesai), beliau berkata: Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya saya orang yang paling mirip shalatnya dengan shalat Rasulullah saw.” [HR. an-Nasa’i]

  • عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَجْهَرُ ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q 9$# ÉOŠÏm§ 9$# . [رواه النسائي]

“Diriwayatkan dari Qatadah, diriwayatkan dari Anas, ia berkata: Saya shalat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman r.a., tetapi saya tidak mendengar seorang pun di antara mereka yang membaca ‘Bismillahir-Rahmanir-Rahim’ dengan keras.” [HR. an-Nasa’i]

  • عَنْ أَبَي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأْتُمُ الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاقْرَءُوا بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِى وَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِحْدَاهَا. [رواه الدارقطني]

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila kamu membaca al-Hamdu Lillah (surat al-Fatihah), maka bacalah ‘Bismillahir-Rahmanir-Rahim’, sebab surat al-Fatihah adalah Ummul-Qur’an dan Ummul-Kitab dan Sab’ul-Matsani, adapun basmalah adalah salah satu ayat dari surat al-Fatihah.” [HR. ad-Daruquthni]

  • عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ قِرَاءَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: كَانَتْ قِرَاءَتُهُ مَدًّا … ثُمَّ قَرَأَ: ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q 9$# ÉOŠÏm§ 9$#. ߉ôJysø9$# ¬! Å_Uu‘ šúüÏJn=»yèø9$# . Ç`»uH÷q§ 9$# ÉOŠÏm§ 9$# . Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$# … . [أخرجه البخاري عن أنس، قال الدارقطني اسناده صحيح]

“Diriwayatkan dari Anas r.a., bahwa ia pernah ditanya tentang bacaan Rasulullah saw (surat al-Fatihah), maka Anas menjawab: Bacaannya secara madd (panjang). Lalu ia membaca ‘Bismillahir-Rahmanir-Rahim, al-Hamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin, ar-Rahmanir-Rahim, Maliki Yaumid-din, …’.” [Ditakhrijkan oleh al-Bukhari dari Anas, ad-Daruquthni mengatakan: Sanadnya shahih]

Penjelasan

  1. Hadits pertama yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas, menceritakan bahwa Anas tidak mendengar bacaan basmalah dari Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak membaca basmalah sama sekali, sebab kemungkinan mereka membacanya secara sirri, tidak jahr (keras). Sebab dalam riwayat lainnya, yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i, dan Ibnu Khuzaimah, juga dari Anas, menyatakan: لاَ يَجْهَرُونَ بِسْمِ اللهِ الَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. Ini menunjukkan bahwa mafhumnya adalah mereka membacanya secara sirri. Hadits yang ditakhrijkan oleh Muslim tersebut menurut para ulama adalah hadits yang berderajat shahih.
  2. Hadits kedua, yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari Nu’aim al-Mujammir, menyatakan bahwa ketika ia shalat di belakang Abu Hurairah (makmum), beliau membaca ‘Bismillahir-Rahmanir-Rahim’. Kemudian setelah selesai shalat beliau berkata: Saya adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan shalat Nabi saw. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Nabi saw membaca basmalah dengan jahr ketika mengerjakan shalat. Perlu diketahui bahwa Abu Hurairah adalah sahabat yang dekat sekali kepada Nabi saw, dan tidak diragukan kejujuran, kepercayaan, ingatan serta kecerdasannya. Maka tidaklah mungkin beliau berdusta. Ash-Shan‘ani menyatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang paling shahih dalam masalah basmalah (ash-Shan‘ani, 1961, I: 173).
  3. Hadits ketiga, yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dari Anas, menyatakan bahwa Anas tidak mendengar Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman mengeraskan suaranya dalam membaca ‘Bismillahir-Rahmanir-Rahim’. Dari hadits tersebut dapat diambil pengertian (mafhum), bahwa Nabi saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman membaca basmalah dengan sirri. Menurut para ahli hadits, hadits tersebut termasuk hadits shahih (ash-Shan‘ani, 1961, I: 173).
  4. Hadits keempat, yang ditakhrijkan oleh ad-Daruquthni dari Abu Hurairah, menyatakan bahwa Nabi saw pernah memerintahkan kepada para sahabat untuk membaca basmalah apabila membaca al-Fatihah, sebab basmalah adalah salah satu ayat dari surat al-Fatihah, dan menurut ad-Daruquthni hadits tersebut adalah shahih.
  5. Hadits kelima, yang ditakhrijkan oleh al-Bukhari dari Anas, menyatakan bahwa Rasulullah saw membaca basmalah apabila membaca surat al-Fatihah. Menurut ad-Daruquthni, sanad hadits tersebut adalah shahih.

Menurut para ahli hadits, kelima hadits tersebut adalah shahih dan tidak dapat diketahui mana di antara hadits-hadits tersebut yang datang lebih dahulu, sehingga tidak dapat ditetapkan mana yang nasikh (yang menghapus) dan mana yang mansukh (yang dihapus). Justru hadits-hadits tersebut dapat dikompromikan dan dapat diamalkan semuanya. 

Oleh karena itu kami berpendapat bahwa Rasulullah saw kadang-kadang membaca basmalah secara jahr dan kadang-kadang membacanya secara sirri. Kami tegaskan kembali bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari ayat-ayat surat al-Fatihah, boleh dibaca secara jahr dan boleh pula dibaca secara sirri dalam shalat jahr, yaitu shalat yang diharuskan membaca surat al-Fatihah secara jahr.

 

Wallahu a’lam bish shawwab

 —————————————–
Semua pertanyaan dijawab oleh Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
e-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com

disadur dari : suaramuhammadiyah.or.id

Mengenal Istilah Dosa

Mengenal Istilah Dosa

Istilah yang sudah tidak asing mendengar kata dosa.  Ada beberapa istilah dalam Al-Quran untuk menyebut dosa atau kemaksiatan, diantaranya itsm (إثم), dzanb (ذنب), ‘ishyan (عصيان), huub (حوب), sayyi-ah (سيئة), dan khathi-ah (خطيئة). Istilah-istilah ini sama-sama merujuk kepada pengertian dosa dan poelanggaran, namun masing-masing punya kekhasan makna.

Itsm (الإثم) dan dzanb (الذنب) biasanya sama-sama diartikan dosa. Secara bahasa, الذنب makna aslinya ekor. Dosa disebut demikian karena ia merupakan akibat sesuatu perbuatan, yakni datang di belakang sesuatu. Atau, karena ia merupakan sesuatu yang dianggap kotor akibat akhirnya, seperti umumnya ekor binatang.

Adapun الإثم makna aslinya adalah lambat/buth-u (البطء) dan telat/ta-akhkhur (التأخّر). Dosa disebut demikian karena orang yang berdosa itu lambat dari kebaikan dan telat darinya.

Sedangkan ‘ishyan (العصيان), biasanya diartikan kedurhakaan atau maksiat. Makna aslinya adalah berpisah, seperti anak untuk yang tidak mau lagi ikut induknya karena dia sudah tidak lagi menyusu/disapih. Orang bermaksiat diserupakan dg ini krn ia tdk mau mngikuti petunjuk Allah, memisahkan diri, dan berbuat semaunya sendiri.

Kemudian huub (الحوب), makna aslinya adalah hardikan untuk mencegah untuk melakukan sesuatu. Dosa disebut demikian karena pada dasarnya ia merupakn sesuatu yang dilarang, atau karena pelakunya sadar bahwa hal itu sebenarnya dilarang.

Adapun sayyi’ah (السيئة) adalah kebalikan dari hasanah (الحسنة), aslinya berakar kepada kata suu’ (السوء). Makna aslinya adalah segala hal yang membuat seseorang sedih dan berduka, baik urusan duniawi maupun ukhrawi. Dosa kecil dan kesalahan (duniawi) biasanya disebut juga dengan sayyi’ah, karena ia membuat pelakunya sedih dan resah, merasa tidak nyaman, merasa bersalah.

Terakhir, khothi-ah (الخطيئة), yang aslinya berakar dari kata khotho’ (الخطأ). Makna aslinya adalah berbelok dari arah yang semestinya, alias meleset atau tidak tepat sasaran. Khoti’ah dan sayyi’ah mirip, karena sering dipakai untuk mnyebut dosa kecil atau kekeliruan-kekeliruan.

Tapi umumnya khoti’ah digunakan untuk mnyebut hal-hal secara tidak sengaja dilakukan. Misal, ingin memanah kijang tapi meleset terkena manusia. Maka, kebalikan dari khotho’ adalah showab (الصواب), yakni pas, kena, atau tepat sasaran.

disadur dari berbagai sumber

wallahu'alam

Keadilan dan Pemimpin Yang Adil

IKHTISAR JUMAT, Keadilan dan Pemimpin Yang Adil Bandung, 1 November 2014 "Satu waktu nanti akan tiba atas umatku penguasa s...